Opini

Menagih Janji Jokowi Soal Perpanjangan Dana Otsus

Ilustrasi | Foto: Tribunnews

DUA Puluh Enam Maret 2019, saat berkampanye di Lhokseumawe, calon Presiden Joko Widodo, menegaskan janjinya yang akan mempanjang dana otonomi khusus bagi Aceh.

Hasil Mou Helsinki yang diturunkan dalam reguasi UUPA, memberikan anugerah bagi Aceh, yakni diberikannya provinsi ini dana otonomi khusus. Pengalokasian dana ini, membuat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) membengkak, sebab mendapatkan suntikan sebesar Rp8-9 triliun setiap tahunnya.

Dana Otsus yang berlaku efektif sejak 2008, akan berakhir dalam beberapa tahun kedepan, dan dengan memotret kompleksitas masalah Aceh, seperti sulit bagi provinsi ini, jika dalam pembangunan kedepan tidak lagi memiliki dana Otsus.

Tentu, selain dana Otsus, Aceh adalah provinsi yang memiliki sumber daya alam melimpah, seperti batu bara, emas, minyak bumi dan gas. Ditambah lagi sektor pertanian dan perkebunan, seperti kelapa sawit, kopi, minyak nilam, kakao, dan juga produktivitas padi yang surplus setiap tahunnya.

Selain memilik sumber daya alam yang besar, Aceh juga ditopang oleh faktor pembiayaan atau fiskal yang bersumber dari penerimaan dari negara, yakni APBN, APBA dan APBK. Rata-rata dari provinsi ini anggaran pendapatan dan belanjanya dari ketiga sumber itu mencapai besaran Rp80-90 tirliun setiap tahunnya.

Selain kaya akan sumber daya alam dan penerimaan fiskal, Aceh merupakan provinsi yang memiliki faktor dukungan khusus lainnya, yakni memiliki Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau UUPA, keragaman budaya dan bahasa yang beragam, serta kewenangan menjalankan syariat Islam, dan ditopang oleh birokrasi yang baik, serta memiliki potensi pariwisata yang luar biasa.

Miris kemudian, dengan banyaknya potensi berupa sumber daya alam, otonomi khusus, pariwisata, dan syariat Islam, serta sumber fiskal itu, provinsi ini masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan rakyat belum menikmati anugerah yang Allah berikan tersebut.

Sebut saja contohnya, jika ditilik dari sumber fiskal, Aceh adalah provinsi yang anggaran daerahnya nomor satu terbesar di Sumatera dan nomor tiga terbesar di Indonesia. Miris kemudian, dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar tersebut, provinsi ini masih menempati posisi nomor wahid termiskin di pulau Sumatera, dan menduduki peringkat enam di Indonesia, dari 34 provinsi yang ada.

Belum lagi problematika sosial yang dihadapi provinsi ini, yakni masalah maraknya peredaran dan pengguna narkoba.

Badan Nasional Narkotika (BNN) mencatat, pada 2018 terdapat 73,1 ribu jumlah penduduk Aceh yang perlu direhabilitasi akibat penyalahgunaan narkoba. Namun, pemerintah Aceh hanya mampu melakukan rehabilitasi sebanyak 321 orang saja.

Badan pusat statistik (BPS), mencatat, saat ini, periode September 2018, angka kemiskinan di Aceh adalah 15,97 persen, atau terdapat 831 ribu penduduk provinsi ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun secara rata-rata Pemerintah Aceh berhasil menekan tingkat kemiskinan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yakni, 2012 (18,58%), 2013 (17,72%), 2014 (16,98%), 2015 (17,11%), 2016 (16,43%), 2017 (15,92%), dan 2018 (15,68%).

Sementara itu, survei lembaga ini juga pada Februari 2018, mencatat tingkat pengangguran terbuka atau TPT di daerah ini mencapai 154 ribu orang, dari 2,235 juta dari angkatan kerja. Dan angka ini terus mengalami penurunan setiap tahunnya, tercatat, 2012 (9,10%), 2013 (10,30%), 2014 (9,02%), 2015 (9,93%), 2016 (7,57%), 2017 (6,57%), dan 2018 (6,35%).

Dari sisi produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga bahan berlaku (ADHB), BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh hingga triwulan I 2019 sebesar Rp38,84 triliun, atau 3,88 persen years-on years (yoy). Dan secara rata-rata tahunan kinerja pertumbuhan ekonomi Aceh terus mengalami kondisi naik turun. Yakni, 2012 (4,95%), 2013 (4,15%), 2014 (4,02%), 2016 (4,27%), dan 2018 (4,61%).

Dan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, provinsi ini belum pernah mencatatkan angka pertumbuhan lima persen, atau perekonomian Aceh setiap tahunnya selalu berada di bawah angka nasional. Angka nasional rata-rata pada kisaran 5,17 persen.

Dengan kondisi tersebut di atas, tentu, sumber fiskal berupa dana otsus masih sangat penting bagi Aceh, untuk menjalankan pembangunan daerah ini agar beragam persoalan tersebut dapat dituntaskan.

Perpanjangan dana otsus adalah proses politik, dan ini harus diawali dengan komunkasi antara eksekutif, legislatif, dan juga perwakilan DPR RI dan DPD RI asal Aceh, untuk membentuk tim kecil, guna mendorong upaya revisi UU Pemerintahan Aceh, yang tidak lagi kontekstual denan dinamika perkembangan Aceh, terutama pasal yang mengatur keberdanaan dana otonomi khusus tersebut.

Memang, saat ini, kita belum melihat upaya dan proses politik kearah sana, dan tentu saja, elemen sipil, yang dulu pernah mendorong UUPA dapat kembali menginisiasi proses ini, dengan menggunakan cara-cara ekstra parlementer. Dan kita sangat percaya, kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019 lalu, merupakan jalan penting agar UUPA dapat direvisi.

* Penulis adalah Hendro Saky, seorang wartawan di Banda Aceh yang saat ini menjadi Pimpinan Umum Popularitas.com.

Shares: