Dinas Kebudayaan dan Pariwisata AcehFeature

Mengintip pusat karantina jemaah haji masa kolonial di Sabang

Mengintip pusat karantina jemaah haji masa kolonial di Sabang
Pusat karantina haji Nusantara di Pulau Rubiah, Kota Sabang. FOTO: Muhammad Fadhil/popularitas.com

POPULARITAS.COM – Dua bangunan tua berkontruksi beton itu berdiri di tengah hutan berantara. Bangunan utama ukurannya besar dan satu lagi kecil. Letaknya tidak berjauhan.

Bangunan utama memiliki beberapa ruang. Demikian juga dengan bangunan kecil. Di bagian belakang juga terdapat toilet.

Kedua bangunan itu terlihat kurang perawatan. Sejumlah sisi atap sudah copot. Demikian juga pintu dan jendela.

Di depan bangunan, sebuah prasasti dibangun untuk menjelaskan sejarah pembangunan gedung dan fungsinya.

Dua bangunan itu merupakan pusat karantina jemaah haji Nusantara. Lokasinya berada di Pulau Rubiah, Kota Sabang.

Bangunan yang menjadi catatan sejarah perhajian Indonesia itu dibangun tahun 1920 pada zaman kolonial Belanda dan saat itu disebut menjadi tempat persinggahan terakhir dari kapal jemaah haji yang hendak pergi ke atau pulang dari Makkah.

Beberapa waktu lalu, popularitas.com bersama rombongan berkunjung ke objek wisata dan sejarah itu. Rombongan turut didampingi Albina, pemerhati sejarah di Kota Sabang.

“Ini petunjuk arah menuju bangunan itu, jaraknya 100 meter, baru dibangun beberapa waktu lalu,” kata Albina kepada rombongan saat turun dari boat setiba di Pulau Rubiah.

Pulau Rubiah. Dok: Kemenag

Sebelumnya, rombongan menempuh perjalanan dari Banda Aceh menuju Sabang menggunakan kapal cepat Express Bahari. Setiba di Sabang, rombongan menempuh jalur darat kurang lebih 30 kilometer menuju Iboih.

Setiba di Iboih, rombongan menaiki boat untuk menyebrang menuju Pulau Rubiah. Jaraknya kurang lebih 200 meter. Saat menuju Pulau Rubiah, rombongan didampingi Albina.

Dari dermaga Pulau Rubiah, wisatawan harus berjalan kaki sekitar 100 meter untuk mencapai gedung pusat karantina haji Nusantara.

Kondisi jalan menuju bangunan Karantina Haji Nusantara di Pulau Rubiah, Kota Sabang. Foto: Muhammad Fadhil

Kicaun burung menyambut kedatangan rombongan di dua bangunan itu. Sesekali terdengar suara monyet. Selebihnya adalah sunyi, tak ada raungan kendaraan.

Dua bangunan tersebut tampak tersembunyi karena ditutupi pepohonan besar dan dikelilingi ilalang. Di dalam bangunan, daun-daun tampak berserakan bercambur dengan plafon yang sudah rusak. Sehingga, pemandangan kumuh terlihat di situ.

Selain dua bangunan itu, ternyata bangunan lainnya juga pernah ada di Pulau Rubiah. Namun, saat ini sudah lenyap dimakan usia. Hanya tinggal pondasi-pondasi bekas bangunan yang sudah ditutupi semak belukar.

Di sela-sela perjalanan, Albina ikut menceritakan sejarah berdirinya bangunan tersebut. Menurutnya, gedung karantina haji ini telah berdiri sejak tahun 1920 semasa penjajahan Belanda.

“Sebelum jemaah haji yang berangkat ke tanah suci Makkah menggunakan pesawat udara, jemaah calon haji dari Aceh berangkat ke Makkah dengan kapal laut melalui pelabuhan laut Sabang,” kata Albina sambil berjalan menaiki tangga.

Albina berharap agar ada perhatian dari pemerintah dan pemangku kepentingan di negeri ini, guna melestarikan situs bersejarah di pulau Rubiah.

“Sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu pusat informasi sejarah haji di Indonesia, konon lagi pulau Rubiah sering dikunjungi wisatawan,” ujar Albina.

Teuku Yahya yang mengaku keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah menceritakan bahwa gedung karantina haji itu digunakan sampai Jepang masuk ke Indonesia.

Saat Indonesia merdeka, gedung tersebut tidak digunakan lagi, namun pemberangkatan jemaah haji masih dilakukan dari Sabang. Namun, lokasi asrama haji ini berada di Kampung Haji Kota Sabang dan bertahan sampai dengan tahun 70-an.

“Gedung ini merupakan tempat karantina haji untuk seluruh jemaah haji yang akan berangkat ke Jeddah (Saudi Arabia) melalui transportasi laut,” kata Teuku Yahya.

Menurutnya, gedung karantina haji itu dibangun memadati lebih dari setengah pulau yang memiliki luas sekitar 26 hektare itu. Sejumlah fasilitas tersedia di sana seperti laundry dan rumah sakit.

Yahya mengaku sudah menetap di Pulau Rubiah sejak tahun 60-an. Dia menjadi saksi mata bagaimana pemberangkatan jemaah haji dilakukan saat itu.

Menurut Yahya, hampir separuh pulau yang luasnya berdiri pemondokan jemaah haji, selain dua bangunan yang tersisa saat ini. Namun, pemondokan tersebuh saat ini sudah tak ada lagi, lenyap ditelan bumi.

Proses pemberangkatan jemaah haji dilakukan setelah jemaah masuk karantina lebih kurang 1-2 bulan. Sebelum keberangkatan, kegiatan yang dilakukan jemaah dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan.

“Banyak juga kapal-kapal kecil dari Pulau Jawa dan daerah lainnya yang mengantarkan jemaah haji ke gedung karantina haji ini, sebelum kapal besar dari Jeddah menjemput jemaah haji,” kata Teuku Yahya.

Berdasarkan penuturan Teuku Yahya, kapal besar tersebut tidak bersandar di Pulau Rubiah. Hal ini membuat para jemaah harus dilansir menggunakan kapal-kapal kecil menuju kapal besar yang stanby di perairan Sabang.

Sementara pada masa pemulangan, kata Teuku Yahya, jemaah juga harus dikarantina kembali selama lebih kurang satu bulan.

“Meskipun jemaah tersebut berasal dari Iboih (Sabang) yaitu pulau di samping Pulau Rubiah, tetap tidak diperbolehkan pulang,” tutur Teuku Yahya.

“Mereka baru diizinkan pulang setelah melakukan pemeriksaan kesehatan dan seluruh baju jemaah dicuci pada laundri. Baru jamaah diperbolehkan dijemput untuk pulang kembali ke daerah masing-masing,” demikian Teuku Yahya.

Shares: