POPULARITAS.COM – Berdasarkan catatan Polda Aceh di tahun 2024, kasus kejahatan terhadap perempuan dan anak meningkat pesat dengan jumlah 572 kasus, yang mana pada tahun 2023 lalu tercatat hanya 277 kasus.
Menurut Kapolda Aceh, Irjen Pol Achmad Kartiko saat konferensi pers akhir tahun beberapa hari lalu, jenis kejahatan yang banyak dilaporkan yakni kekerasan seksual, bahkan hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Tren kejahatan terhadap perempuan dan anak di Aceh meningkat, tahun 2024 tercatat ada 572 kasus, sementara di tahun 2023 sebanyak 277 kasus,” ujar Kapolda.
Peningkatan tren kejahatan ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat lebih tumbuh dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya, sudah banyak masyarakat yang berani melapor ke aparat penegak hukum.
“Ini sejalan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat dalam melaporkan tindak pidana kekerasan itu sendiri, ini yang menjadi pemicu hingga kita bisa mendeteksi banyaknya kasus” timpal Dirreskrimum, Kombes Pol Ade Harianto dalam kesempatan yang sama.
Senada dengan kepolisian, Direktur Flower Aceh, Riswati juga pernah mengungkapkan, selama ini masih banyak pihak yang takut untuk melaporkan tindakan tersebut dengan berbagai alasan, salah satunya adalah malu karena dianggap aib.
“Padahal sikap ini tak memberikan efek jera bagi para pelaku, hingga semakin banyak korban selanjutnya. Selain itu, perlu pemulihan psikologi yang komprehensif bagi para korban secara maksimal,” katanya.
Menurut M Reza Fahlevi Kirani, diperlukan evaluasi secara komperhensif untuk menekan angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Isu terkait hal tersebut juga membutuhkan perhatian dari semua pihak.”Peran orangtua sendiri juga sangat penting dalam melindungi anak-anak mereka dengan pola pengasuhan yang baik,” ucap anggota DPR Aceh periode 2019-2024 tersebut.
Reza meminta Pemerintah Aceh melalui dinas terkait untuk menyusun skema baru yang efektif guna menurunkan angka kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak. Selama ini skema yang ada masih kurang didukung oleh anggaran yang memadai dan sumber daya manusia. “Pemerintah kabupaten atau kota di Aceh juga harus bersikap proaktif dan serius dalam menangani kasus kekerasan di Aceh,” katanya.
Lantas, apakah yang menjadi penyebab utama maraknya kasus kekerasan atau kejahatan terhadap para kaum perempuan dan anak di Tanah Rencong?
<span;>Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana, masalah ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki, kemiskinan keluarga, rendahnya pendidikan, gangguan kepribadian dan lain-lain.
“Dalam upaya pencegahan serta penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, butuh beberapa hal yang harus dilakukan dengan melibatkan semua pihak, salah satunya dengan membangun ketahanan keluarga,” ungkap Meutia beberapa waktu lalu.
Dia pun mengakui, ketakutan para korban untuk melaporkan tindakan kekerasan atau kejahatan yang dialami oleh perempuan dan anak menjadi salah satu persoalan tersendiri. Namun, selama ini tingkat kesadaran itu mulai berangsur tumbuh.
“HaI itu tak terlepas dari program sosialisasi serta edukasi yang dibuat dan dijalankan DP3A Aceh selama ini, di samping peran serta dari instansi lainnya,” kata dia.
“Saat ini banyak korban yang berani melapor dengan dibantu keluarga dan lainnya. Ini langkah baik menuju perlindungan yang lebih efektif bagi kaum perempuan dan anak-anak kita,” sambung Meutia.
Laporan yang diadukan, baik dengan cara datang langsung atau Hotline UPTD PPA di nomor 0811-6808-875, tak hanya membantu korban untuk mendapatkan keadilan, melainkan juga berperan penting dalam mencegah kekerasan lebih lanjut di lingkungan masyarakat.
Selain menerima laporan dari para korban kekerasan, peran lainnya yang dilakukan oleh DP3A Aceh adalah dengan mendampingi para korban serta menangani kasus kekerasan tersebut.
Meutia mengungkapkan bahwa kasus kekerasan yang dilaporkan oleh para korban akan melalui asesmen mendalam. Hal ini untuk menentukan langkah terbaik bagi pemulihan korban sendiri.s
alah satu langkah utamanya yaitu menentukan apakah korban kekerasan harus kembali ke keluarga yang dapat memberikan perlindungan atau malah harus ditempatkan di bawah perlindungan negara.
“Hasil asesmen nanti yang menentukan apakah si anak lebih balik dikembalikan ke keluarga atau diambil alih negara. Kami terus mendampingi korban hingga mereka pulih dan kembali mampu untuk menjalani hidup normal di masyarakat,” ungkapnya.
Pendampingan terhadap para korban ini sangat penting, lantaran banyak dari korban kekerasan, terutama anak-anak, mengalami trauma yang mendalam dan butuh rehabilitasi psikologi yang komprehensif.
Untuk memastikan korban kekerasan mendapat rehabilitasi yang memadai selain pendampingan, pihaknya ikut bekerjasama dengan dinas sosial. Di mana, DP3A bertugas memberi penanganan awal dan pendampingan bagi korban, sementara proses rehabilitasi ditangani dinas sosial.
“Rehabilitasi jadi tanggung jawab dinas sosial, mereka akan melakukan asesmen terhadap keluarga korban, menentukan apakah keluarga mampu memberikan perlindungan, nafkah hingga pendidikan bagi si anak. Ini penting untuk memastikan korban tidak kembali menjadi korban kekerasan yang sama nantinya,” jelasnya.
Pemerintah Aceh melalui DP3A Aceh terus berkomitmen meningkatkan kualitas layanan pengaduan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Berkolaborasi dengan berbagai pihak serta stakeholder yang ada termasuk masyarakat, menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan Aceh yang lebih aman dan sejahtera.
Ia pun berharap dengan kerja keras semua pihak yang didukung seluruh masyarakat, perlindungan terhadap perempuan dan anak di Aceh ke depan semakin dapat ditingkatkan. Hingga akhirnya nanti dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi emas Aceh selanjutnya,” pungkas Meutia.