News

Amnesty International Indonesia: Hentikan Budaya Kekerasan Tangani Demonstran

JAKARTA (popularitas.com) – Polisi diduga tidak belajar dari pengalaman dalam menangai demonstrasi penolakan sejumlah undang-undang bermasalah di beberapa daerah di Indonesia pada 24 September 2019. Hukuman etik yang diberikan kepada anggota kepolisian juga dinilai tidak memberi efek jera sehingga pola penanganan demonstran dengan cara kekerasan kembali terulang.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui siaran pers yang diterima awak media, Kamis, 26 September 2019. Siaran pers ini dikirim menyikapi terulangnya pola agresif kepolisian saat mengamankan aksi demonstrasi beberapa hari terakhir.

“Polisi tidak belajar dari pengalaman saat demo 21-22 Mei tahun ini di mana banyak anggota mereka melakukan kekerasan, dan hal itu nampaknya terulang pada demo kemarin. Sekali lagi ini menunjukkan bahwa hukuman etik bagi anggota Brimob yang melakukan kekerasan pada aksi 21-22 Mei lalu tidak memberi efek jera dan kembali polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap demonstran pada aksi 24 September kemarin.”

Usman meminta pihak kepolisian untuk menghentikan segala taktik kekerasan dalam menangangi demonstrasi oleh masyarakat yang akhir-akhir ini meningkat, karena kekecewaan terhadap pemerintah dan DPR. “Biarkan mahasiswa, aktivis serta masyarakat melakukan aksi damai tanpa dibarengi oleh intimidasi dari aparat. Kami juga meminta agar kepolisian menghentikan praktek kekerasan terhadap jurnalis yang meliput demonstrasi,” ujarnya lagi.

Dia menilai pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus dihukum dan dibawa ke pengadilan. Kepolisian juga diminta tidak berhenti hanya pada tataran etik untuk memproses tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

“Harus ada investigasi pidana terhadap pelaku. Kasus seperti ini telah berulang kali karena tidak adanya investigasi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan,” katanya.

Amnesty International Indonesia menilai demonstrasi damai bukanlah ancaman bagi pemerintah. Menurut Usman aspirasi yang disampaikan demonstran juga dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan dan kebijakan.

“Kami juga menghimbau masyarakat untuk menyalurkan aspirasi secara damai,” tambahnya.

Di sisi lain, Usman Hamid meminta polisi memberikan hak secara sebagai warga negara bagi para demonstran yang ditangkap. Salah satunya adalah pendampingan hukum.

“Mereka-mereka yang ditangkap namun tidak terbukti melakukan tindakan pidana harus segera dibebaskan,” tuturnya.

Amnesty International turut mengecam tindakan aparat yang melakukan tembakan gas air mata ke arah stasiun Palmerah pada 24 September malam. Tindakan tersebut dinilai sebagai  bentuk penggunaan kekutan yang berlebihan dan melanggar SOP kepolisian itu sendiri.

“Tembakan gas air mata tersebut membuat panik ratusan pengguna jasa kereta api, yang diantarnya adalah orang lanjut usia dan seorang ibu yang menggendong bayinya yang berumur delapan bulan.”

Dia mengatakan gas air mata tidak boleh digunakan di ruang tertutup atau di mana pintu keluar terbatas. Gas air mata, seperti senjata tidak mematikan lainnya layaknya peluru karet, juga dapat menyebabkan cedera serius bahkan kematian.

“Ketika senjata semacam itu digunakan, senjata itu harus mematuhi prinsip-prinsip legalitas, keperluan, dan proporsionalitas,” pungkas Usman Hamid.*(RIL)

Shares: