HeadlineNews

Jalan Keluar Soal Kewenangan Aceh dari Jusuf Kalla

JAKARTA (popularitas.com) – Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah bersama sejumlah anggota DPR dan DPD RI yang tergabung dalam Forbes Aceh menemui mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam di kantor Kalla Grup itu, Nova Iriansyah dan anggota Forbes menyampaikan sejumlah hal terkait pembangunan Aceh dan kendala yang dihadapi.

Nova Iriansyah menyampaikan Jusuf Kalla sudah dianggap sebagai orang tua bagi orang Aceh lantaran berjasa dalam memfasilitasi terwujudnya MoU Helsinki, yang menjadi cikal bakal perdamaian Aceh.

“Pak JK adalah orang tua kami. Kami merasa Pak JK dekat dengan Aceh dan merasa hanya dengan bersama-sama kita bisa membangun Aceh. Aspek ekonomi itu penting untuk memajukan Aceh,” kata Nova Iriansyah.

Sejumlah hal yang mengemuka dalam pertemuan itu di antaranya tentang mengupayakan perpanjangan dana otonomi khusus Aceh, rencana take over pengelolaan lapangan migas Blok B, rencana revitalisasi BPKS Sabang, dan kendala yang dihadapi Aceh dalam mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, serta kendala dalam implementasi Undang-undang Pemerintahan Aceh termasuk persoalan bendera yang belum selesai.

Merespon tentang rencana perpanjangan dana otonomi khusus, Jusuf Kalla mengatakan bisa saja hal itu dilakukan.

“Bisa saja itu dilakukan di DPR. Bisa diperpanjang 10 tahun, 15 tahun, atau berapa lah. Saya kira itu bisa dilakukan,” kata Jusuf Kalla.

Kalla menambahkan, dulu dana otonomi khusus direncanakan untuk 20 tahun karena diharapkan dalam kurun waktu tersebut ekonomi Aceh yang porak-poranda akibat konflik bersenjata sudah bisa kembali berjalan normal.

“Namun, kalau ternyata sekarang dianggap perlu diperpanjang, ya silahkan saja dilakukan,” kata Jusuf Kalla.

Tentang Bendera Aceh

Terkait persoalan bendera Aceh yang belum selesai, Jusuf Kalla menyampaikan dirinya sudah sering menyampaikan dalam sejumlah pertemuan dengan pimpinan Aceh bahwa ada aturan yang melarang penggunaan simbol-simbol yang pernah digunakan GAM sebagai bendera Aceh.

Jusuf Kalla bahkan mengatakan larangan penggunaan emblem atau simbol-simbol GAM juga tercantum dalam MoU Helsinki.

“Coba baca lagi MoU Helsinki. Di sana ada aturan yang melarang penggunaan simbol-simbol GAM sejak perjanjian Helsinki diteken,” tambah Jusuf Kalla.

Itu sebabnya, kata Jusuf Kalla, dirinya pernah beberapa kali menyarankan agar bendera yang diusulkan, yang sama persis dengan bendera GAM, untuk direvisi sedikit saja.

“Kalau itu dilakukan, diubah sedikit, sudah pasti saya setujui sewaktu saya masih wakil presiden,” kata Jusuf Kalla.

Sabang untuk Industri Perikanan

Ada pun tentang rencana revitalisasi Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) Jusuf Kalla mengingatkan bahwa Sabang saat ini tidak mungkin lagi dijadikan lokasi transit kapal-kapal asing seperti era kejayaannya dulu. Hal itu lantaran saat ini kapasitas kapal juga semakin besar sehingga butuh kedalaman tertentu untuk bisa merapat di Pelabuhan Sabang.

“Yang paling mungkin dilakukan sekarang adalah mengubah orientasinya. Sabang itu cocok dikembangkan industri perikanannya. Hanya itu yang cocok. Tidak untuk yang lain, apalagi kembali ke masa lalu,” kata Jusuf Kalla sembari mengenang status pelabuhan bebas Sabang dikembalikan saat dirinya menjabat Menteri Perdagangan di awal tahun 2000-an.

Membantah Curiga

Jusuf Kalla juga membantah jika ada yang mengatakan Pemerintah Pusat mencurigai Aceh masih ingin melepaskan diri dari NKRI.

“Saya tidak merasa ada lagi kecurigaan bahwa Aceh ingin merdeka. Tidak ada lagi itu,” tegasnya.

Seusai pertemuan, Ketua Forbes Aceh Nasir Djamil mengapresiasi masukan dari Jusuf Kalla.

“Terima kasih Pak Jusuf Kalla atas penjelasannya yang sangat gamblang. Tidak salah jika JK itu sering disebut sebagai singkatan dari ‘jalan keluar,” kata Nasir.

Selain Nasir Djamil, sejumlah anggota Forbes Aceh yang hadir dalam pertemuan itu di antaranya T A Khalid, Illiza Sa’aduddin Djamal, Ruslan Daud, Nazaruddin Dek Gam, Muslim, dan Fadhil Rahmi.* (RIL)

Shares: