FeatureHeadline

Kisah nasabah BSI Aceh, cicilan dibayar aset pun dilelang

Penyaluran KUR oleh BSI di Aceh capai Rp3,051 triliun
Ilustrasi foto. (ANTARA)

POPULARITAS.COM – Malang nian nasib Fitri Suryani (36) warga Aceh Barat. Perempuan itu, harus kehilangan asetnya berupa ruko di Kampung Belakang, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh. Harta yang Ia anggunkan saat mengambil pembiayaan di Bank Syariah Indonesia (BSI) Meulaboh itu, kini disita bank tersebut, dan bahkan sudah dilelang.

Kisah melayangnya aset Fitri Suryani dilelang BSI Meulaboh, berawal saat Ia dan suaminya, memutuskan mengambil kredit di Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada 2008 silam sebesar Rp1,1 miliar. Keduanya mengajukan pembiayaan di bank itu, guna menambah modal bagi usaha mereka yang bergerak di sektor jasa.

Sejak 2008 hingga 2021, Fitri Suryani lancar membayar angsuran, dan sama sekali tidak pernah sekalipun menunggak pembayaran. Masalahnya muncul kemudian, saat pemberlakuan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan dibentuknya Bank Syariah Indonesia (BSI) oleh pemerintah.

Mulai 2021, kredit Fitri Suryani di BRI pun kemudian dilimpahkan ke BSI. Saat pemindahan tersebut, sisa kreditnya di bank syariah itu hanya tingga Rp787 juta. Ditahun itu juga, pagebluk Covid-19 mewabah, dan berimbas pada sektor usaha jasa miliknya.

“Saat Covid-19 awal-awal 2021, usaha kami benar-benar drop, penjualan 100 persen menurun,” kata Fitri Suryani kepada popularitas.com beberapa waktu lalu.

Akibat kendala tersebut, Ia tak mampu melakukan angsuran pembayaran. Sebagai dampaknya dari macetnya kredit di BSI, pihak manajemen bank tersebut mengontak kami dan meminta untuk melakukan pembayaran tunggakan. Namun, saat itu, kondisi benar-benar usaha kami nyaris bangkrut akibat Covid-19.

Upaya dirinya meminta keringanan berupa penangguhan pembayaran tidak digubris. Bahkan, pihak manajemen BSI sama sekali tidak pernah mendatangi tempat usahanya, guna melihat fakta dan kondisi yang sebenarnya. “BSI hanya telpon-telpon saja meminta kami harus membayar tunggakan. Mereka sama sekali tidak empati terhadap kondisi usaha kami yang hancur akibat Covid-19,” ujarnya.

Selanjutnya, pihak BSI mengirimkan surat peringatan kepada dirinya. Kemudian, Fitri Suryani bersama suaminya, mendatangi Kantor BSI Cabang Meulaboh dan bertemu dengan staf bank tersebut yang menangani masalah tunggakannya.

Dalam pertemuan itu, Fitri Suryani meminta kepada manajemen bank untuk memberikan keringanan jumlah pembayaran angsuran. Jika sebelumnya Ia harus membayar Rp24 juta per bulan, kepada pihak BSI Meulaboh, dirinya minta keringanan pembayaran bulanan.

“Saat bertemu itu, kami minta keringanan pembayaran bulanan. Kepada petugas, kami sampaikan bahwa, kesanggupan untuk membayar angsuran Rp10 juta – Rp15 juta,” paparnya.

Namun, niat baik kami untuk tetap bisa membayar tagihan dengan cara pengurangan angsuran tidak digubris perbakan tersebut. Dirinya pun di paksa untuk menandatangani penyelesaian hutang selama enam bulan dengan tiga tahap pembayaran.

BSI Meulaboh, meminta dirinya untuk menyelesaikan hutang dengan pembayaran tiga tahap, yakni Rp300 juta tahap pertama, Rp85 juta tahap kedua, dan sisanya Rp193 juta tahap ketiga.

Jika dirinya tidak mampu menyelesaikan ketentuan tersebut selama kurun waktu lima bulan, maka BSI akan mengambil alih aset berupa ruko yang selama ini jadi anggunan untuk pembiayaan tersebut.

Sebab tidak ingin aset dilelang, Fitri Suryani pun berusaha untuk menyelesaikan ketentuan itu. Kemudian, pada Juli 2023, Ia menyetorkan uang ke BSI Rp300 juta, selanjutnya pada September 2023, Rp85 juta.

Surat pemberitahuan lelang aset milik Fitri Suryani dari BSI

Namun, pada Desember 2023, dari kesepakatan Rp193 juta, dirinya hanya mampu membayarkan Rp50 juta. Nah, disinilah puncak masalahnya, dirinya dinilai BSI Meulaboh tidak berkomitmen, padahal, sungguh saat itu Ia tak mempunyai uang sebanyak itu.

“Total tunggakan yang sudah kami setorkan Rp385 juta dalam kurun waktu lima bulan. Bahkan, kami bersedia menambah Rp50 juta lagi. Tapi BSI bersikeras ambil alih dan melelang aset kami,” katanya menerangkan.

Dari total hutang tersisa di BSI, Fitri Suryani telah membayarkan lebih dari setengah kredit macetnya di perbankan tersebut, yakni senilai Rp385 juta. Namun, tetap saja, asetnya melayang dan dilelang oleh BSI.

Seharusnya, sambungnya, sebagai masyarakat dan juga pengusaha kecil, BSI terlebih dahulu melakukan pembinaan, dan tidak serta merta mengambil alih aset yang selama ini jadi tempat usaha dirinya dan keluarga mencari nafkah.

BSI sendiri, katanya lagi, sama sekali tidak memberikan toleransi dan kesempatan kepada dirinya untuk mempertahankan aset tersebut. “Kami sudah punya itikad baik untuk membayar. Buktinya sudah Rp385 juta kami setorkan,” sebutnya.

Menurutnya, cara-cara BSI di Aceh, sama sekali tidak mencerminkan praktek perbankan syariah. Sebab, tidak memberikan kesempatan kepada nasabahnya untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban secara beradab dan sesuai dengan nilai-nilai syariah.

“Seharusnya kami diberikan kesempatan terlebih dahulu. Tapi ini tidak, BSI main ambil alih aset dan langsung dilelang,” sesalnya.

Ia menyesalkan sikap BSI tersebut. Semestinya, sebagai perbankan yang menganut prinsip-prinsip syariah dan menjalankan sistem lembaga keuangan syariah yang berlaku di Aceh, BSI seharusnya tidak berlaku seperti itu.

Regional CEO BSI Region Aceh, Wisnu Sunandar. Foto: Riska Z/popularitas.com

Sementara itu, Kepala Regional CEO BSI Aceh, Wisnu Sunandar, saat dikonfirmasi popularitas.com, mengatakan bahwa, dari persoalan yang dihadapi Fitri Suryani dan berkas administrasi yang telah dipelajari pihaknya, ketentuan pelelangan aset yang dilakukan pihaknya teleh sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku.

Wisnu juga menegaskan bahwa, pelelangan aset yang dilakukan pihaknya tersebut, merupakan bagian dari penerapan perbankan syariah. Jadi, semua ketentuan telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan hukum yang telah ditetapkan. (Tim Redaksi)

Shares: