POPULARITAS.COM – GELAR profesor dan status guru besar kerap dipandang sebagai mahkota kehormatan dan simbol integritas dalam dunia akademik. Namun realitas di Universitas Syiah Kuala berbeda; bahwa gelar dan jabatan tidak otomatis menjamin kejujuran dan kepemimpinan berintegritas.
Dalam kasus ini, dua tokoh terkemuka kampus itu, Profesor Marwan dan Profesor Taufiq Saidi bukan hanya terjebak dalam konflik kepentingan. Mereka diduga aktif mengatur aturan main pengadaan dengan cara yang menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua tokoh itu bahkan berupaya menutupi fakta dan membentuk narasi seolah-olah persyaratan IPM adalah hal yang sah dan wajib. Padahal kenyataannya tidak berdasar pada UU Jasa Konstruksi maupun regulasi pengadaan pemerintah. Ini adalah peringatan keras bagi masyarakat agar tidak lagi membiarkan gelar akademik menjadi tameng untuk praktik-praktik korupsi dan kolusi di lembaga pendidikan tinggi.
Marwan dilantik sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala. Dan pada 14 Maret 2023, dia dilantik sebagai Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Aceh. Pada tanggal itu, Taufiq Saidi dilantik sebagai wakil ketua. Dalam struktur pengaruh pengadaan tender USK, peran utama terbagi menjadi dalang yang merancang strategi dan operator yang menjalankan eksekusi teknis.
Sebagai Rektor USK, Marwan memiliki kewenangan akademik dan administratif yang luas. Adapun Taufiq, Wakil Rektor IV USK, memegang kendali keuangan dan pengelolaan sumber daya kampus. Keduanya juga menjabat sebagai ketua dan wakil ketua PII Aceh; posisi yang memberikan mereka akses penuh terhadap sistem sertifikasi insinyur profesional.
Di bawah mereka, ada nama Ir Suriadi yang menjabat sebagai PPK pelaksana konstruksi dan Ir Rudiansyah Putra yang menjabat sebagai PPK perencana dan pengawas konstruksi. Keduanya adalah operator tender. Dengan skema ini, pengadaan tender USK dikontrol secara sistematis dari atas hingga bawah, memastikan bahwa hanya pihak-pihak tertentu yang dapat memenangkan proyek. Persatuan Insinyur Indonesia (PII) adalah organisasi profesi yang menaungi para insinyur profesional di Indonesia, berfungsi sebagai lembaga yang mengatur, membina, dan mengembangkan profesi insinyur sesuai standar nasional dan internasional.
Keberadaan organisasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang menjadi payung hukum utama pengaturan profesi insinyur di Indonesia. Aturan lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019, sebagai aturan pelaksana dari UU Keinsinyuran. 3.AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) PII sebagai pedoman organisasi.
Salah satu fungsi penting PII adalah menerbitkan Sertifikat Insinyur Profesional (IPM) yang merupakan bukti pengakuan kompetensi dan kualifikasi profesional insinyur sesuai jenjang keahlian. PII juga berperan dalam memastikan kualitas dan etika praktik insinyur di Indonesia, serta menjadi mitra pemerintah dan industri dalam pengembangan sumber daya manusia teknik.
Klarifikasi tentang UU Keinsinyuran dan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah Banyak yang keliru menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dapat dijadikan dasar hukum untuk menetapkan persyaratan sertifikat insinyur profesional (IPM) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Padahal, UU Keinsinyuran hanya mengatur kompetensi dan sertifikasi profesi insinyur sebagai bagian dari pengembangan sumber daya manusia teknik dan standar keinsinyuran di Indonesia, tanpa mengatur tata cara atau persyaratan khusus dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pengadaan barang/jasa pemerintah diatur secara khusus dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Jo. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; dan peraturan turunannya yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Dalam konteks ini, penambahan persyaratan IPM sebagai kualifikasi wajib dalam tender tidak memiliki dasar hukum yang sah dalam regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah.
Oleh karena itu, penerapan persyaratan IPM yang bersifat diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip pengadaan yang terbuka, adil, dan kompetitif sebagaimana diamanatkan oleh Perpres Pengadaan. Addendum Syarat IPM: Konflik Kepentingan Terang-terangan Addendum Dokumen Pemilihan Nomor 500/UN11.PBJ/LK.01.01/2025 tertanggal 24 Maret 2025 secara signifikan mengubah persyaratan kualifikasi manajer lapangan dalam tender pembangunan Gedung FKG Blok V USK.
Manajer lapangan yang sebelumnya hanya diwajibkan memiliki jenjang kompetensi minimal 6, kini juga harus memiliki Sertifikat Insinyur Profesional (IPM). Sertifikat IPM ini hanya diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) – organisasi yang diketuai langsung oleh Prof. Marwan dan Prof. Taufiq Saidi. Ini jelas bukan kebetulan administratif, melainkan konflik kepentingan yang nyata.
Pelanggaran terhadap UU Jasa Konstruksi Dalam konteks pengadaan jasa konstruksi, regulasi yang berlaku adalah UU Jasa Konstruksi (UU No. 2 Tahun 2017). Dalam Pasal 26 ayat (1) UU Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi wajib memiliki kompetensi kerja sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang dipersyaratkan. ”Namun, UU Jasa Konstruksi tidak mensyaratkan Sertifikat Insinyur Profesional (IPM) sebagai syarat dalam pekerjaan konstruksi. Regulasi ini hanya mengatur bahwa tenaga kerja konstruksi harus memiliki kompetensi sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang ditetapkan, yang biasanya berupa Sertifikat Keahlian Kerja (SKA) atau Sertifikat Keterampilan Kerja (SKT).
Selain itu, dalam Pasal 26 ayat (4) UU Jasa Konstruksi, ditegaskan bahwa “Penyelenggaraan Jasa Konstruksi wajib dilakukan secara terbuka dan kompetitif dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.” Dengan adanya persyaratan IPM yang hanya bisa diterbitkan oleh PII, maka terjadi pembatasan akses bagi pelaku usaha lain yang tidak memiliki sertifikat tersebut.
Hal ini melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU Jasa Konstruksi. Pelanggaran Hukum: Melanggar Prinsip Persaingan Sehat Menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 jo. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 serta Lampiran II Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021, khususnya poin 3.4, tegas menyatakan: Dalam menentukan persyaratan kualifikasi Penyedia, Pokja Pemilihan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif yang dapat menghambat dan membatasi keikutsertaan Pelaku Usaha dalam proses pemilihan.
Penambahan persyaratan IPM oleh Pokja Pemilihan USK merupakan bentuk persyaratan diskriminatif dan tidak objektif yang nyata menghambat pelaku usaha lain untuk bersaing secara sehat. Cacat Hukum Tender Gedung FKG Blok V USK Oleh karenanya, tender pembangunan Gedung Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Blok V Universitas Syiah Kuala (USK) ini cacat hukum karena bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Jasa Konstruksi dan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Apabila tender ini tetap dilaksanakan dengan persyaratan Sertifikat Insinyur Profesional (IPM) yang diskriminatif dan tidak berlandaskan regulasi yang sah, maka akan menimbulkan konsekuensi serius berupa: pelanggaran prinsip persaingan usaha yang sehat; potensi gugatan hukum dari pihak-pihak yang dirugikan; merusak kredibilitas dan integritas pengadaan publik di lingkungan kampus; serta meningkatkan risiko korupsi dan kolusi yang sulit diawasi dan dikendalikan.
Oleh sebab itu, penting bagi pihak berwenang untuk segera meninjau ulang dan membatalkan persyaratan yang tidak sah ini agar pengadaan kembali berjalan sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Konflik Kepentingan Pimpinan Kampus dalam Pelaksanaan Tender Masalah pelik muncul ketika pimpinan kampus yang menjadi aktor utama dalam menetapkan persyaratan tender sekaligus mengawasi pelaksanaan proses tersebut. Dalam kasus ini, Prof. Dr. Ir. Marwan, selaku Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Aceh, memiliki peran ganda yang sangat berkonflik.
Ketika pengendalian tender berada di tangan pihak yang sama yang memiliki kepentingan langsung, maka proses pengadaan rawan manipulasi demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini juga menyebabkan pengawasan internal kehilangan independensi, sehingga praktik korupsi dan kolusi berpotensi berjalan tanpa hambatan serta kepentingan publik dan transparansi menjadi korban, menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi akademik dan pengadaan publik.
Situasi ini menuntut keterlibatan pengawas eksternal dan lembaga hukum untuk memastikan proses berjalan adil dan sesuai regulasi, sekaligus menghindari penyalahgunaan kewenangan yang berbahaya bagi integritas kampus dan negara. Jaringan ganda pengaruh dalam tender USK Tidak Marwan yang memegang jabatan strategis sebagai Rektor USK dan Ketua PII Aceh, Taufiq Saidi, yang menjabat sebagai Wakil Rektor IV sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) USK dan Wakil Ketua PII Aceh, juga sama-sama berpengaruh.
Keduanya memiliki kendali luas terhadap pengelolaan akademik, keuangan kampus, serta sertifikasi profesional insinyur melalui PII. Dengan jaringan yang terstruktur di berbagai level, pengaruh PII terlihat sangat kental dalam setiap aspek pengadaan di lingkungan USK. Kecurigaan makin kuat saat diketahui bahwa dua perusahaan pemenang tender, yaitu CV Petra Jaya Mandiri dan CV Mitra Lestari, diduga memiliki kedekatan dengan Marwan dan Taufik Saidi.
Penulis mencatat beberapa poin. Pertama, dengan persyaratan IPM yang eksklusif, kedua perusahaan ini seolah mendapat kemudahan untuk memenuhi syarat yang tidak bisa dipenuhi pesaing lain. Kedua, kuat dugaan bahwa mereka adalah bagian dari jaringan internal atau mendapat perlakuan khusus dari pengelola kampus dan PII. Ketiga, proses tender pun terindikasi dikendalikan untuk memastikan perusahaan-perusahaan “pilihan” ini menang, sementara perusahaan lain tersisih secara administratif.
Dominasi mereka berdua memungkinkan celah kecurangan, seperti syarat IPM sengaja dipasang untuk menguntungkan perusahaan tertentu yang dekat dengan jaringan mereka; proses tender dikendalikan atau dimanipulasi agar hasil sesuai dengan kepentingan mereka; persaingan sehat tergerus oleh dominasi jaringan kepentingan yang tumpang tindih. Penambahan persyaratan IPM bukanlah keputusan tanpa pengaruh. Sebagai rektor sekaligus Ketua PII Aceh, dan wakil rektor IV sekaligus Wakil Ketua PII Aceh, Marwan dan Taufiq Saidi berpotensi besar menjadi aktor sentral dalam menetapkan dan mengesahkan perubahan persyaratan yang menguntungkan lembaga yang mereka pimpin.
Posisi itu membuat mereka mampu mengarahkan perubahan dokumen pemilihan agar IPM menjadi syarat wajib; memastikan proses tender selaras dengan kepentingan organisasi profesi; membatasi partisipasi perusahaan yang tidak memiliki IPM, sehingga membatasi kompetisi. Situasi ini mengindikasikan adanya konflik kepentingan serius dan potensi penyalahgunaan kewenangan dalam pengadaan barang/jasa di lingkungan USK.
Di balik layar proses pengadaan di Universitas Syiah Kuala, penetapan Daftar Penyedia Terpilih (DPT) bukan sekadar langkah administratif biasa. DPT ini justru berfungsi sebagai alat strategis yang menghambat dan mengebiri partisipasi perusahaan yang tidak diinginkan dalam proses tender. Terlebih dengan adanya penambahan persyaratan Sertifikat Insinyur Profesional (IPM) yang diwajibkan dalam tender pembangunan Gedung Fakultas Kedokteran Gigi Blok V USK, ruang gerak perusahaan yang belum memiliki sertifikasi tersebut makin terbatas.
DPT yang eksklusif dan selektif, serta persyaratan IPM yang diskriminatif dan sulit dipenuhi secara luas, membentuk jebakan sistemik yang menghalangi banyak perusahaan kompeten untuk mengikuti tender secara adil. Hal ini berdampak pada terkuburnya persaingan sehat dan terbuka. Karena perusahaan pilihan, perusahaan yang memiliki kedekatan dengan jaringan pengelola kampus dan organisasi profesi, yang menjadi pemenang tanpa kompetisi berarti, serta integritas dan transparansi pengadaan publik menjadi korban.
Hal ini menyebabkan rakyat dan negara dirugikan karena potensi efisiensi dan kualitas terabaikan demi kepentingan sempit. Ini bukan sekadar persoalan teknis administratif, melainkan penyalahgunaan mekanisme pengadaan yang membahayakan prinsip keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas. Mari lihat analisis singat mengenai revisi nilai kontrak CV Mitra Lestari terhadap HPS. Nilai kontrak perusahaan itu hanya 1,46 persen lebih rendah dari HPS (Harga Perkiraan Sendiri).
Hal ini mencerminkan ketatnya persaingan yang sengaja dikendalikan oleh Marwan dan Taufiq melalui persyaratan IPM yang eksklusif. Karena syarat IPM yang sulit dipenuhi secara luas dan dipaksakan oleh penguasa tender, yaitu Marwan dan Taufiq Saidi, hanya perusahaan tertentu yang memenuhi kualifikasi tersebut yang dapat berpartisipasi dalam tender dan memiliki peluang menang besar.
Akibatnya, penawaran harga hanya bisa sedikit lebih rendah dari HPS, karena persaingan sengaja dibatasi dan dikontrol oleh pengelola tender; tidak ada tekanan harga signifikan dari pelaku usaha lain yang tersisih; tender menjadi ladang “keuntungan” bagi perusahaan “pilihan” yang ditentukan.
Dengan demikian, rendahnya selisih harga ini bukan tanda kompetisi sehat, melainkan indikasi pasar tertutup akibat pengaturan persyaratan yang diskriminatif dan pengendalian terpusat. Kesimpulan Kasus ini bukan sekadar persoalan teknis administratif. Ini adalah penyalahgunaan mekanisme pengadaan yang membahayakan prinsip keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Lebih jauh lagi, tender dengan persyaratan IPM yang dikendalikan oleh Marwan dan Taufiq adalah puncak gunung es dari praktik manipulasi yang lebih luas dan sistemik di lingkungan Universitas Syiah Kuala. Sifat eksklusif dan diskriminatif dari syarat IPM, peran ganda para pejabat kampus dan PII, serta dampaknya terhadap persaingan usaha yang sehat menunjukkan adanya pola kolusi, penyalahgunaan wewenang, dan kegagalan pengawasan yang berlapis.
Oleh Teuku Abdul Hanan
Penulis adalah pemerhati pengadaan barang/jasa.
Leave a comment