NewsParlementaria DPR Aceh

Qanun Bendera Aceh Dibatalkan, Ini Kata Ketua Fraksi PA

BANDA ACEH (popularitas.com) – Ketua Fraksi Partai Aceh, Iskandar Usman Al Farlaky menyebutkan pihaknya hingga saat ini belum menerima secara resmi surat keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) terkait pembatalan Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Pernyataan ini disampaikan Iskandar menyikapi maraknya pembahasan tentang pembatalan qanun tersebut di Aceh dalam beberapa hari terakhir.

“(Jika ada) surat itu sendiri sudah melewati fase untuk pembatalan sebuah produk hukum daerah,” kata Iskandar, Kamis malam, 1 Agustus 2019.

Sebelumnya, Kaukus Peduli Aceh (KPA) mengungkap surat pembatalan tentang Qanun Bendera Nomor 3 tahun 2013 tersebut telah dilakukan sejak 2016 lalu. Pembatalan ini dilakukan melalui surat Keputusan Mendagri Nomor 188.34-4791 tahun 2016, dan disebut tidak mendapat respon dari Pemerintah Aceh hingga 14 hari pasca putusan.

Namun, menurut Iskandar, Keputusan Mendagri tersebut masih berpolemik. Sesungguhnya, kata dia, Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang lahir, ditetapkan, dan diundangkan masih dalam rezim UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Sehingga tidak tepat mengulang penilaian proses kelahiran Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” katanya.

Lebih lanjut, Iskandar beralasan, dalam rezim UU Nomor 32 tahun 2004 sebagaimana dimuat pada Pasal 144 bahwa sebuah rancangan Perda/Qanun yang telah disetujui bersama, disampaikan kepada Gubernur untuk ditetapkan sebagai Perda/Qanun paling lama 30 hari sejak rangancan tersebut disetujui bersama. Dalam Pasal 145 UU Nomor 32 tahun 2004 juga menggarisbawahi Perda/Qanun yang telah ditetapkan itu disampaikan kepada Pemerintah paling lama tujuh hari dan apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.

Selanjutnya, keputusan pembatalan Perda/Qanun ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya Perda/Qanun tersebut. Bilamana provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, maka dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (MA).

“Akan tetapi jika pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda/Qanun dimaksud, maka Perda/Qanun dinyatakan berlaku,” kata Iskandar lagi.

Dia mengatakan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tersebut lahir sesuai proses menurut rezim Pemerintahan Daerah yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan tidak pernah dikeluarkan Perpres untuk membatalkannya. Dalam konteks ini, kata dia, maka Menteri tidak dapat menetapkan keputusan membatalkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 dengan menggunakan ketentuan UU Nomor 23 tahun 2014. “Sebab dalam pembentukan sebuah qanun, mulai rancangan, persetujuan, penetapan/pengesahan, pengundangan, pembatalan dan pengujian diikat oleh waktu (jumlah hari) dan tunduk pada undang-undang yang berlaku saat itu.”

Iskandar mengatakan Undang-Undang tidak berlaku surut alias non retroaktif/ex post-facto, tetapi prospek ke depan. Sehingga, menurutnya, Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah dibentuk melalui proses yang diatur berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tidak dapat dibatalkan dengan argumen bahwa proses pembentukannya tidak sesuai UU Nomor 23 tahun 2014.

“Eksekutif review dalam bentuk pembatalan dengan Keputusan Menteri, Pasal 251 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2014, tidak dapat dilakukan atas Qanun Bendera dan Lambang tersebut. Pilihan yang tersedia adalah judicial review ke Mahkamah Agung,” ungkap Iskandar.

Selanjutnya, kata Iskandar, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang diundangkan pada 25 Maret 2013 ini telah pernah di judicial review ke Mahkamah Agung pada tahun 2016. Hal ini dilakukan karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Kemudian, lanjut Iskandar, Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 47P/HUM/2016 menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari pemohon tidak dapat diterima. “Kedepan ruang eksekutif review berupa pembatalan Perda/Qanun oleh Menteri melalui Keputusan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 251 UU Nomor 23 tahun 2014 sudah tergusur dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016. Mulai saat itu, Menteri Dalam Negeri tidak dapat lagi mencabut Perda/Qanun,” kata Iskandar lagi.

“Dengan demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang pembentukan produk hukum daerah, maka tidak ada lagi persoalan dengan Qanun Bendera. Secara regulasi sudah, tinggal saja komitmen politik pusat,” pungkas Iskandar.* (BNA)

Shares: