News

Biaya Haji 10 Ribu Jemaah Kuota Tambahan tak Pakai APBN?

JAKARTA (popularitas.com) – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memastikan biaya haji yang diperlukan bagi 10 ribu jemaah kuota tambahan tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun dari tambahan nilai manfaat keuangan haji dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan relokasi tambahan efisiensi pengadaan layanan di Arab Saudi oleh Kementerian Agama.

“Kementerian Keuangan menyatakan APBN hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasionalisasi petugas haji, tidak untuk membiayai kegiatan dan atau keperluan seperti akomodasi, konsumsi, dan transportasi jemaah haji,” kata Lukman seperti dilansir dalam keterangan tertulis di laman resmi Sekretariat Kabinet, setkab.go.id, Sabtu, 18 Mei 2019.

Sebelumnya, pada rapat kerja antara Komisi VIII DPR dengan Pemerintah pada 23 April 2019 lalu disepakati tambahan anggaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji atau BPIH sebesar Rp 353 miliar sebagai konsekuensi dari bertambahnya kuota haji tahun ini. Sebesar Rp 183,7 miliar di antaranya, semula direncanakan akan bersumber dari APBN Bagian Anggaran – Bendahara Umum Negara.

Namun, menurut Lukman, setelah dilakukan kajian hukum disimpulkan hal tersebut tidak dapat dilakukan. “Regulasi tidak memungkinkan. Karena APBN hanya terkait dengan petugas atau secara tidak langsung dengan jemaah,” ujar Lukman.

Untuk mengatasi hal tersebut, Lukman mengusulkan sejumlah solusi guna menutup kekurangan sebesar Rp 183,7 miliar. Pertama, terkait tambahan nilai manfaat keuangan haji dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ia menuturkan bahwa BPKH bersedia menyediakan dana sebesar Rp 100 miliar dari tambahan nilai manfaat keuangan haji.

“Kemenag bersyukur BPKH bersedia untuk memberikan tambahan nilai manfaat keuangan haji, sehingga bisa menyisihkan Rp 100 miliar untuk menutup kekurangan tersebut. Tersisa Rp 83,7 miliar,” kata Lukman.

Kedua, relokasi tambahan efisiensi pengadaan layanan di Arab Saudi oleh Kementerian Agama. Ia mengungkapkan realisasi penggunaan dana pengadaan akomodasi di Mekkah ternyata dapat dilakukan efisiensi sebesar Rp 50 miliar.

“Setelah pada raker sebelumnya, 23 April 2019 lalu relokasi efisiensi pengadaan akomodasi di Makkah bisa menyisihkan Rp 50 miliar, dan sekarang hal yang sama bisa dilakukan kembali. Sehingga sisa kekurangan menjadi Rp 33,7 miliar,” ujar Lukman.

Untuk menutup kekurangan tersebut, maka dilakukan tiga langkah rasionalisasi anggaran. Pertama, penyesuaian jumlah kloter untuk 10 ribu jemaah. “Yang semula 25 kloter menjadi 20 kloter, bisa dilakukan dengan melakukan pemadatan penerbangan,” tutur Lukman.

Kedua, menghapus biaya safeguarding khusus untuk 10 ribu jemaah, dengan asumsi tidak lagi diperlukan untuk tambahan 10 ribu. Namun, kata Lukman, biaya safeguardinguntuk kuota sebelumnya tetap ada. “Rasionalisasi ketiga, dengan melakukan penyesuaian biaya satuan manasik haji di KUA.”

Semula Panja telah menyepakati biaya satuan manasik haji di KUA sebesar Rp 85 ribu per jemaah. Namun, karena anggaran tidak dapat dipenuhi oleh APBN BA-BUN maka dilakukan rasionalisasi biaya satuan manasik menjadi Rp 63.092 per jemaah. “Dengan perhitungan tersebut, total rasionalisasi yang bisa dilakukan sebesar Rp 33,7 miliar,” tutur Lukman.

Maka, menurut Lukman besaran kebutuhan anggaran untuk 10 ribu jemaah kuota haji tambahan yang semula sebesar Rp 353,7 miliar berubah menjadi Rp 319 miliar. Dengan demikian, biaya itu akan ditutupi antara lain dari dana yang tersedia hasil raker terdahulu Rp 170 miliar, tambahan nilai manfaat dari BPKH sebesar Rp 100 miliar, dan tambahan efisiensi akomodasi Mekkah sebesar Rp 49,9 miliar.*

Sumber: Tempo.co

Shares: