News

“Fungsi Pengawasan DPRA Sangat Tumpul”

DPRA. (antara)

BANDA ACEH (popularitas.com) – Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, dinilai tumpul dalam melakukan pengawasan terhadap pengadaan-pengadaan yang dilakukan oleh pihak dinas dalam skala kecil. Padahal jika digabungkan, jumlah mata anggaran yang diplotkan justru cukup besar. “Jujur kalau kita melihat sendiri, DPR sendiri, fungsi pengawasannya sangat tumpul.”

Demikian disampaikan Kepala Divisi Kebijakan Ruang Publik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Hafidh usai menggelar konferensi pers di kantor tersebut, Selasa, 27 Agustus 2019 kemarin. Pernyataan ini disampaikan Hafidh menyikapi tertutupnya informasi pengadaan benih dan bibit yang dilakukan oleh empat dinas di bawah payung Pemerintah Aceh sehingga terindikasi adanya korupsi dan dinilai menjadi program tumpang tindih. Ke empat SKPA yang dimaksud adalah DLHK, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Peternakan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan.

Baca: Pengadaan Benih dan Bibit di Aceh Diduga Bermasalah

Menyikapi hal tersebut Hafidh meminta masyarakat dan jejaring MaTA untuk melakukan pemantauan di daerah-daerah yang mendapat kucuran program pengadaan benih dan bibit dari empat SKPA tersebut. “Apakah dia benar-benar layak mendapat bantuan, dan kedua apakah bantuan itu benar-benar dapat dimanfaatkan,” tambah Hafidh.

Hafidh kemudian mencontohkan program yang dilaksanakan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh. Menurutnya dinas tersebut diduga sengaja mencari celah untuk tidak melakukan pengadaan pengadaan dalam pelaksanaan programnya. “Beberapa program, paketnya itu dipecah memang rata-rata di bawah 200 juta untuk menghindari tender,” ungkap Hafidh.

Lebih lanjut, Hafidh menyebut di pengadaan bibit padi sebanyak Rp53 miliar yang menjadi program Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh. Dia mempertanyakan berapa ton bibit padi yang dapat dibeli jika bersandar pada nominal anggaran tersebut. “Dalam satu hektar lahan pertanian, berapa bibit yang dibutuhkan?”

Untuk itu, Hafidh mempertanyakan kenapa pihak dinas enggan mengungkap siapa saja penerima manfaat dari pengadaan benih tersebut. Menurutnya jika argumen pihak dinas tersebut benar, bahwa pengadaan benih dan bibit itu disalurkan di lokasi yang berbeda, lantas kenapa takut mempublikasikan daftar nama penerima manfaat?

“Semakin ditutupi, dugaan kita semakin kuat (adanya indikasi korupsi),” kata Hafidh.

Berdasarkan data yang diperoleh MaTA mencantumkan jumlah anggaran pengadaan benih atau bibit di empat dinas tersebut dalam dua tahun terakhir dirincikan, Dinas Lingkungan Hidup dengan jumlah paket mencapai 106 buah dan anggaran pengadaan mencapai Rp 22.678.340.000 selama dua tahun. Untuk tahun 2018, DLHK Aceh mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20.237.600.000,- atau sebesar 8,05% dari total belanja DLHK. Sebagai catatan, total belanja DLHK Aceh pada 2018 mencapai Rp 251.447.693.833.

Kemudian pada 2019, DLHK Aceh juga mengalokasikan anggaran pengadan benih/bibit sebesar Rp 2.440.740.000 atau sebesar 1,16% dari total belanja DLHK yang mencapai Rp 210.783.953.985,-.

Di dinas ini, ada beberapa item pengadaan bibit yang diprogramkan dari tahun 2018 hingga 2019. Namun, DLHK mengalokasikan anggaran terbanyak pada bibit Jernang yang mencapai Rp7,2 miliar. Kemudian disusul pengadaan bibit tanaman kehutanan sebesar Rp5,2 miliar.

Dalam data tersebut diketahui, Aceh Besar merupakan wilayah terbanyak mendapatkan alokasi anggaran untuk pengadaan benih di DLHK Aceh dalam 2 tahun terakhir, dengan jumlah mencapai Rp2,6 miliar. Kabupaten selanjutnya yang mendapat alokasi anggaran besar dari DLHK untuk pengadaan bibit tersebut adalah Pidie yang jumlahnya mencapai Rp1,7 miliar.

Selanjutnya di Dinas Peternakan Aceh tercatat ada 16 paket pengadaan bibit ternak, dengan anggaran mencapai Rp 13.808.505.000. Jumlah ini terbagi ke dalam dua tahun anggaran, yang pada 2018 dialokasikan sebesar Rp 13.448.000.000. Alokasi anggaran ini merupakan 9,34 persen dari total belanja Dinas Peternakan Aceh pada 2018 yang mencapai Rp 143.920.586.375.

Sementara pada 2019, Dinas Peternakan Aceh juga mengalokasikan anggaran pengadaan bibit ternak sebesar Rp 360.500.000. Masih berdasarkan data yang diberikan MaTA, diketahui bibit ternak sapi merupakan pengadaan terbanyak selama dua tahun terakhir yang anggarannya mencapai Rp9,7 miliar. Jumlah ini jauh dari pengadaan bibit ternak kerbau dan kambing. Sementara Aceh Tenggara merupakan lokasi yang mendapat nominal anggaran terbanyak dari Dinas Peternakan Aceh, yaitu sebesar Rp7,1 miliar, dan disusul Singkil dengan Rp2,7 miliar, serta Pidie Jaya dengan Rp1,3 miliar lebih.

Masih menurut data tersebut, sapi dan kambing mendominasi pengadaan bibit di Dinas Peternakan yang dialokasikan untuk Kabupaten Aceh Tenggara. Untuk pengadaan sapi sendiri, Dinas Peternakan Aceh mengalokasikan Rp 4.176.000.000, sementara untuk kambing mencapai Rp 3.000.000.000 di Aceh Tenggara. Pengadaan sapi juga dilakukan untuk Kabupaten Aceh Singkil dengan alokasi anggaran sebesar Rp 2.150.000.000 dan Pidie Jaya sebesar Rp 1.379.000.000.

Di Dinas Pertanian dan Perkebunan terdapat 202 paket dengan anggaran mencapai Rp 169.034.401.003 dalam dua tahun terakhir. Pada 2018, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh mengalokasikan anggaran sebesar Rp 97.449.931.003, dan pada 2019 dinas yang sama juga memplotkan anggaran untuk pengadaan benih sebesar Rp 71.584.470.000. Padi merupakan jenis bibit terbanyak yang dilakukan pengadaan oleh Distanbun Aceh, yaitu sebesar Rp 56,8 miliar, disusul pengadaan bibit jagung sebesar Rp36,5 miliar, dan kopi sebesar Rp22,2 miliar.

Masih menurut data MaTA, alokasi anggaran yang terindikasi korupsi juga berada di Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Di dinas ini terdapat 762 paket dengan anggaran mencapai Rp 129.965.324.777 pada tahun 2019. Jumlah anggaran itu diperuntukkan bagi pengadaan bibit Nila senilai Rp37,8 Miliar, kemudian benih bandeng sebesar Rp26,6 Miliar, serta pengadaan benih udang senilai Rp14,5 Miliar.

Dari lokasi anggaran diketahui Aceh Utara mendapatkan alokasi paling banyak yang mencapai Rp17,1 Miliar. Disusul kemudian Kabupaten Bireuen senilai Rp16,3 Miliar, serta Aceh Besar senilai Rp11 Miliar.

Dari empat dinas tersebut MaTA mencatat total anggaran pengadaan mencapai Rp 335.486.565.780,-

Meskipun program-program ini pada awalnya dilakukan dalam rangka pengentasan kemiskinan, tetapi MaTA menilai program-program seperti ini belum memberi dampak signifikan terhadap output yang ingin dicapai pemerintah.* (BNA)

Shares: