HukumNews

Majelis Kehormatan Mahkamah Kontitusi akan selidiki dugaan pelanggaran etik terkait putusan UU Pemilu

Majelis Kehormatan Mahkamah Kontitusi akan selidiki dugaan pelanggaran etik terkait putusan UU Pemilu
Ketua MK Anwar Usman (tengah) dan Hakim MK Enny Nurbaningsih (kanan) saat memberikan keterangan mengenai pembentukan MKMK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/10/2023). (ANTARA/Uyu Septiyati Liman)

POPULARITAS.COM – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstutisi (MKMK) yang terdiri dari Jimly Asshidiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams, akan memulai kerja untuk selidiki dugaan adanya pelanggaran etik dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait dengan UU Pemilu.

Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam keterangannya dikutip dari laman Antara, Senin (23/10/2023) mengatakan, keanggotaan MKMK yang terbentuk tersebut, miliki rekam jejak dan kredibilitas yang baik.

Sebagai contoh Pak Jimly, beliau merupakan Ketua MK periode 2003-2008 serta Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2012-2017.

Kini, Jimly merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta.

“Anggota majelis yang kedua adalah Bintan Saragih,” kata Enny.

Dia menjelaskan bahwa Bintan merupakan perwakilan dan kelompok akademisi. Penasihat senior Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) tersebut pernah menjabat sebagai anggota Dewan Etik MK tahun 2017-2020.

“Beliau dulunya merupakan (anggota) Dewan Etik MK. Namun, karena kelembagaannya sekarang adalah MKMK, jadi memungkinkan beliau untuk menjadi anggota MKMK,” jelasnya.

Selanjutnya adalah Wahiduddin Adams yang kini masih menjabat sebagai hakim konstitusi aktif di MK.

Enny mengatakan saat ini sudah ada tujuh laporan yang masuk ke MK dari berbagai kelompok masyarakat dan advokat mengenai dugaan pelanggaran kode etik hakim MK dalam memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam perkara tersebut, Senin (16/10),MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A asal Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Almas memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Editor : Hendro Saky

Shares: