Feature

Mengintip Sanksi Komunitas “Pelangi” di Negeri Jiran

Ilustrasi LGBT | Foto CNN Indonesia

KOMUNITAS Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Brunei Darussalam dibuat kocar kacir dengan kebijakan sang Sultan Hassanal Bolkiah. Mereka pun mencari jalan keluar dari negara tersebut agar terhindar dari hukum rajam hingga mati.

Salah satunya adalah Khairul, bukan nama sebenarnya, yang mengaku sebagai seorang pemuda gay asal Brunei Darussalam. Khairul rela meninggalkan kehidupannya di Brunei karena takut mendapat hukum mati atas penyimpangan seksual yang dilakoninya.

“Hukuman itu sangat agresif. Seorang manusia seharusnya tidak menderita seperti itu hanya karena menjadi homoseksual,” kata Khairul seperti dilansir CNN Indonesia.

Kebijakan Sultan Brunei Darussalam ini sempat menuai kecaman dari komunitas peduli LGBT. Namun, bukan Sultan Hassanal namanya jika protes pesohor itu diaminkan di negerinya.

Sultan Hassanal memiliki alasan kuat menerapkan hukuman cambuk rajam sampai mati terhadap penyuka sesama jenis yang akrab dikenal dengan komunitas “pelangi”. Dia menyebutkan hukum tersebut diperlukan demi melindungi dan mendidik warga Brunei Darussalam.

“Undang-undang (syariah), selain mengkriminalkan dan menghalangi tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, juga bertujuan untuk mendidik, menghormati, dan melindungi hak-hak yang sah dari semua individu, masyarakat, dari setiap agama dan ras,” demikian bunyi pernyataan kantor Sultan sekaligus Perdana Menteri Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, seperti dikutip CNN Indonesia dari Reuters pada Selasa, 2 April 2019.

Kebijakan hukum ini bakal diterapkan Rabu, 3 April 2019. Tak hanya warga negara Muslim yang disasar, tetapi juga non-Muslim.

Mengutip CNN Indonesia, hukum ini juga diberlakukan untuk pelaku sodomi, perzinahan, dan pemerkosaan. Undang-undang ini pertama kali diadopsi pada 2014 lalu, dan telah diterapkan secara bertahap sejak itu.

Kebijakan dalam negeri Brunei Darussalam ini mendapat banyak sorotan dari global. Salah satunya mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden. “Merajam orang sampai mati karena homoseksualitas dan perzinahan itu mengerikan dan tidak bermoral,” tulis Joe Biden di akun Twitternya.

Senada Biden, aktor Hollywood pemenang Oscar, George Clooney bahkan menyerukan pemboikotan terhadap hotel-hotel mewah milik the Brunei Investmen Company. Dia mencontohkan seperti Beverly Hills Hotel, Dorchester di London, dan Plaza Athenee di Paris.

Bukan hanya mereka yang bereaksi terhadap kebijakan Sultan Brunei Darussalam tersebut. Di tengah maraknya konflik dan pembunuhan massal di Afrika dan Myanmar, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru mendesak Brunei agar tak menerapkan hukum untuk merajam hingga tewas para pelaku penyimpangan seks tersebut.

“Saya meminta pemerintah menghentikan kitab undang-undang hukum pidana yang menjadi satu kemunduran bagi perlindungan hak asasi terhadap rakyat Brunei jika diterapkan,” ujar Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, seperti dikutip AFP, Senin 1 April 2019.

Sebenarnya, kebijakan Sultan Brunei Darussalam tersebut merujuk kepada penerapan hukum syariat Islam sesuai dasar negara yang berada di ujung Pulau Kalimantan tersebut. Dalam Islam, prilaku LGBT jelas dilarang dan harus disembuhkan karena merupakan penyakit psikologis seseorang.

Ilustrasi cambuk di Aceh | Foto: Al Asmunda

Hal ini kerap dikemukakan oleh salah seorang da’i kondang asal Indonesia, Ustadz Abdul Somad atau dikenal dengan sebutan UAS. “(LGBT) itu penyakit, saya tidak menyatakan itu pemberian Tuhan,” tutur UAS seperti wawancaranya dengan salah satu televisi swasta medio awal Januari 2018 lalu.

Namun, UAS menyebutkan, Islam tidak membunuh pelaku LGBT melainkan memusuhi perbuatannya. Menurut UAS, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam menangani kasus LGBT. “Dalam ajaran Islam soal LGBT ada langkah antara sebelum, sedang dan setelah,” kata UAS.

Langkah ini, menurut UAS lagi, merupakan langkah preventif sesuai ajaran Islam yaitu dengan mengasingkan. Lalu langkah selanjutnya adalah hukuman jika prilaku LGBT itu terjadi. “Di situ ada tindakan,” katanya lagi.

Dikutip dari pekanbaru.tribunnews.com, UAS menyebutkan penyakit LGBT tersebut biasanya terjadi, karena yang bersangkutan pernah menjadi korban kekerasan seksual di masa kecilnya.

Indonesia sebagai negara majemuk turut membenarkan bahwa prilaku LGBT menyimpang. Meski demikian, pemerintah Indonesia sempat mendapat sorotan dari warga negaranya kala menggarap RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS) pada 2018 lalu karena dianggap turut melegalkan praktik LGBT. Namun, kabar ini belakangan dibantah oleh Presiden Joko Widodo melalui akun twitternya.

Presiden RI tersebut menyebutkan kabar melegalkan LGBT ini, merupakan salah satu dari sekian banyak hoaks yang terjadi di Indonesia. Jokowi pun meminta masyarakat untuk tak mempercayai begitu saja setiap kabar dan mendorong pengecekan fakta serta penggunaan akal sehat.

“Dengan pikiran, akal sehat, dan mengecek fakta: kita tahu semua itu hoaks belaka,” kata Jokowi seperti dilansir CNN Indonesia.

Sejatinya, Aceh yang merupakan bagian dari negara Indonesia sudah jauh-jauh hari memberlakukan hukuman untuk prilaku LGBT. Penerapan hukum itu disusun dalam Pasal 63 ayat 1 Qanun Nomor 7 Tahun 2014.

Dalam Qanun Nomor 7/2014 ini disebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath diancam dengan hukuman paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.

Ketua MPU Aceh Tgk H Faisal Ali atau dikenal Lem Faisal bahkan mendukung penuh kebijakan Sultan Brunei Darussalam tersebut. Dilansir dari aceh.tribunnews.com, Lem Faisal mengatakan sudah sepatutnya umat Islam di belahan dunia manapun menjalankan ajaran Islam.

“Jadi, kita Aceh sangat mendukung diterapkannya ajaran Islam dan tuntutan Allah SWT yang akan dijalankan oleh Kesultanan Brunei Darussalam ini,” kata Lem Faisal.* (BNA/DBS)

Shares: