News

PBB Setuju Kutuk Pelanggaran HAM Muslim Rohingya di Myanmar

Ribuan Muslim Rohingya dibunuh dan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh. (BBC Indonesia)

(populartas.com) – Majelis Umum PBB telah menyetujui resolusi yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar.

Resolusi itu juga menyerukan agar Myanmar menghentikan hasutan kebencian terhadap minoritas Rohingya dan kelompok minoritas lainnya.

Ribuan orang Rohingya terbunuh dan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh saat terjadi aksi penumpasan oleh militer di negara yang penduduknya beragama Buddha itu pada 2017.

Myanmar (sebelumnya disebut Burma) menolak tuduhan itu dan menegaskan bahwa langkah militer itu untuk mengatasi ancaman ekstremisme.

Awal bulan ini, pemimpin negara itu Aung San Suu Kyi menyanggah tuduhan bahwa negaranya melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) PBB.

Resolusi PBB yang disahkan pada Jumat, 27 Desember 2019 menyatakan kekhawatiran atas berlanjutnya membanjirnya orang-orang Rohingya ke Bangladesh yang disebut “sebagai akibat kekejaman pasukan keamanan dan bersenjata Myanmar”.

Laporan itu menyoroti berbagai temuan misi internasional independen yang mengungkap adanya “pelanggaran HAM berat dan pelanggaran yang diderita Muslim Rohingya dan minoritas lainnya” oleh pasukan keamanan Myanmar, yang digambarkan sebagai “kejahatan paling berat di bawah hukum internasional”.

Resolusi itu menyerukan Myanmar agar melindungi semua kelompok dan menjamin keadilan bagi semua korban pelanggaran hak asasi manusia.

Resolusi PBB ini disahkan oleh total 134 negara dari 193 negara anggota, sembilan suara menentang dan 28 lainnya abstain.

Resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum tetapi dapat mencerminkan pendapat dunia.

Duta Besar PBB untuk Myanmar, Hau Do Suan, menyebut resolusi itu “contoh klasik standar ganda [dan] penerapan norma HAM yang selektif dan diskriminatif”.

Dia mengatakan itu dirancang untuk mengerahkan “tekanan politik yang tidak diinginkan” pada Myanmar dan tidak berusaha menemukan solusi untuk “situasi rumit di negara bagian Rakhine”.

Gambia, sebuah negara kecil di Afrika barat yang mayoritas penduduknya Muslim, membawa kasus Rohingya ke ICJ atas nama puluhan negara Muslim lainnya.

Berbicara di pengadilan awal bulan ini, peraih Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi menyebut kasus terhadap Myanmar “tidak lengkap dan tidak benar”. Dia mengatakan masalah di Rakhine, di mana banyak Rohingya tinggal, sudah terjadi sejak berabad-abad lalu.

Suu Kyi mengatakan kekerasan yang terjadi sebagai “konflik bersenjata internal” yang dipicu oleh serangan gerilyawan Rohingya atas pos-pos keamanan pemerintah.

Dia mengakui bahwa militer Myanmar mungkin menggunakan kekuatan yang tidak proporsional pada waktu itu, tetapi mengatakan bahwa jika tentara melakukan kejahatan perang, “mereka akan dituntut”.

Apa tuduhannya?

Pada awal 2017, ada satu juta orang Rohingya di Myanmar, sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine. Myanmar, negara yang sebagian besar penduduknya beragama Buddha, menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dan menyangkal kewarganegaraan mereka.

Warga Rohingya telah lama mengeluhkan adanya penganiayaan, dan pada 2017, militer Myanmar – Tatmadaw – meluncurkan operasi militer besar-besaran di Rakhine.

Menurut tuduhan yang diajukan oleh Gambia kepada ICJ, militer Myanmar telah melakukan “operasi pembersihan yang luas dan sistematis” terhadap Rohingya, mulai Oktober 2016 dan berlanjut hingga Agustus 2017.

Petisi Gambia menuduh bahwa pembersihan ini “dimaksudkan untuk menghancurkan Rohingya sebagai kelompok, seluruhnya maupun sebagian”, melalui pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran terhadap bangunan mereka “sering kali dengan penghuninya dikunci di dalam”.

Misi pencari fakta PBB yang menyelidiki tuduhan ini menemukan bukti menarik yang menyatakan bahwa tentara Myanmar harus diselidiki untuk tuduhan genosida terhadap Muslim Rohingya di Rakhine.

Bulan Agustus, sebuah laporan menuduh tentara Myanmar “secara rutin dan sistematis melakukan pemerkosaan massal dan berbagai tindakan seksual dengan kekerasaan dan paksaan terhadap perempuan, anak-anak dan orang-orang transgender”.

Bulan Mei, tujuh orang tentara Myanmar yang dipenjara karena membunuh 10 orang Rohingya dibebaskan lebih awal dari penjara. Myanmar mengatakan operasi militer mereka mengarah pada kelompok militan Rohingya dan militer telah menyatakan mereka tidak bersalah.

Bagaimana situasi terakhir yang dihadapi oleh minoritas Rohingya?

Ratusan ribu minoritas Rohingya meninggalkan Myanmar sejak operasi militer dimulai. Pada tanggal 30 September, terdapat 915.000 pengungsi Rohingya di kamp-kamp di Bangladesh.

Hampir 80 mereka tiba antara Agustus dan Desember 2017, serta bulan Maret tahun ini. Bangladesh menyatakan tak akan menerima lagi pengungsi baru.

Bulan Agustus, Bangladesh membentuk skema repatriasi sukarela – tetapi tak ada satupun orang Rohingya yang mau menjalaninya.

Bangladesh berencana merelokasi 100.000 pengungsi ke Bhasan Char, sebuah pulau kecil di Teluk Bengala, tetapi ide ini ditentang oleh 39 aid lembaga pemberi bantuan dan kelompok perlindungan hak asasi manusia.

Bulan September, wartawan BBC Jonathan Head melaporkan bahwa barak polisi, bangunan pemerinah dan kamp relokasi pengungsi telah dibangun di lokasi bekas desa-desa minoritas Rohingya di Myanmar.

Sumber: BBC

Shares: