BANDA ACEH (popularitas.com) – Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakir Manaf atau akrab dikenal Mualem telah mengklarifikasi wacana referendum yang berpolemik dalam sebulan terakhir. Hal ini dinilai sebagai sebuah sikap bijaksana dalam merespon kekisruhan isu referendum yang semakin liar di tengah publik.
Demikian disampaikan Anggota DPR Aceh, Samsul Bahri alias Tiyong, Jumat, 14 Juni 2019.
“Isu referendum tersebut oleh sebagian pihak telah didramatisir sedemikian rupa sehingga suhu politik Aceh terkesan tidak kondusif. Kami tentu sangat mengapresiasi klarifikasi dari Mualem sebagai hak jawab beliau atas tudingan berbagai pihak terhadap dirinya selama ini atas pernyataan referendum yang diucapkan beberapa waktu yang lalu,” ujar Tiyong.
Dia berharap klarifikasi dari Mualem akan segera mengakhiri berbagai polemik terhadap isu referendum.
Tiyong juga mengajak semua pihak untuk mengakhiri sikap saling tuding antar sesama rakyat Aceh, yang dinilainya hanya karena perbedaan pandangan terhadap sebuah sikap politik.
“Ada satu poin penting dalam klarifikasi Mualem yang harus menjadi fokus perhatian kita bersama. Yaitu tuntutan untuk menuntaskan semua butir-butir kesepakatan dalam MOU Helsinki. Kami pun memiliki sikap yang sama dengan Mualem. Semua butir kesepakatan dalam MOU Helsinki harus benar-benar direalisasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Kalau ini diabaikan tentu akan menimbulkan kekecewaan rakyat Aceh yang bisa saja diekspresikan dengan tuntunan referendum atau bahkan tuntutan merdeka di kemudian hari,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua harian PNA tersebut.
Dia juga mengingatkan belum sepenuhnya kesepakatan damai Helsinki direalisasikan pemerintah. Dengan pertimbangan tersebut pula Tiyong sepenuhnya mendorong Pemerintah Aceh dan koleganya di DPR Aceh untuk meminta Pemerintah Pusat melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA).
“Revisi UUPA harus didorong agar mengakomodir semua isi perjanjian Helsinki. Selama ini ada beberapa poin MoU yang belum terakomodir sebagian atau sepenuhnya dalam UUPA. Hal ini boleh jadi karena penyusunan UUPA yang dilakukan dalam waktu yang sangat singkat mengakibatkan tidak semua isi MoU dapat tertampung,” ungkap Tiyong lagi.
Setelah hampir 13 tahun sejak diundangkan pada 1 Agustus 2006, kata Tiyong, kini UUPA sudah saatnya direvisi dengan tujuan untuk penguatan dan penyempurnaan peran dan fungsinya dalam menjalankan roda pemerintahan di Aceh. Berbagai kelemahan yang selama ini terdapat dalam UUPA juga diharapkan dapat diperbaiki.
“Dengan demikian kedepan UUPA tidak akan lagi tumpang tindih atau malah dieliminasi oleh produk regulasi nasional seperti yang selama ini terjadi. Langkah awal kita harus menginventarisir kembali semua pasal-pasal bermasalah dan merugikan Aceh. Pasal-pasal yang tak dibutuhkan Aceh lebih baik dihilangkan,” katanya.
Selanjutnya, Tiyong juga berharap publik untuk ikut mendorong koleganya di DPRA bersama Biro Hukum Pemerintah Aceh agar menyiapkan draft revisi UUPA. Diharapkan, penyusunan draft revisi tersebut turut melibatkan semua pemangku kepentingan di Aceh.
“Semua aspirasi rakyat Aceh harus diberikan ruang agar produk draft UUPA kedepan dapat diterima oleh semua pihak. Kami akan membangun komunikasi dengan berbagai elemen politik di Aceh agar upaya revisi UUPA mendapatkan dukungan yang solid dari rakyat Aceh. Proses revisi terhadap sebuah undang-undang tentu akan melalui berbagai tahapan yang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Oleh karenanya langkah-langkah ke arah sana harus segera dimulai,” ujar Tiyong.
Selain untuk mengakomodir semua isi MoU Helsinki, Tiyong menilai revisi UUPA juga menjadi syarat mutlak untuk memperpanjang masa berlakunya dana Otonomi Khusus (Otsus) sebagaimana dijanjikan Presiden Joko Widodo di Lhokseumawe beberapa bulan lalu. Regulasi terkait dana Otsus tersebut diatur dalam Pasal 183 UUPA.
“Kalau kita ingin dana Otsus untuk Aceh diperpanjang tentu harus mengubah dulu pasal tersebut sebagai payung hukum bagi Pemerintah Pusat untuk memenuhinya. Presiden sekalipun tak akan bisa berbuat apa-apa, walaupun itu janjinya sendiri kalau UUPA belum direvisi. Kita berharap kedepan dana Otsus akan diberikan secara permanen tanpa batas waktu. Selama Aceh masih berstatus wilayah otonomi khusus dalam NKRI, selama itu pula dana Otsus harus diberikan oleh Pemerintah Pusat,” tambah Tiyong.
Lebih lanjut, Tiyong mengatakan UUPA adalah “konstitusinya” Aceh. Menurutnya jika dalam UUPA masih terdapat banyak kelemahan, sulit untuk membangun Aceh mencapai taraf kesejahteraan dan kemajuan.
“Semoga melalui revisi UUPA dapat menjawab harapan Mualem dan harapan seluruh rakyat Aceh agar semua isi MoU Helsinki dapat ditunaikan sepenuhnya oleh pemerintah. Mari kita lupakan perbedaan pilihan politik dalam Pemilu yang lalu. Sebagai rakyat Aceh kita harus mengenyampingkan isu politik nasional demi kepentingan Aceh yang lebih besar. Sekarang saatnya kita semua harus bersatu dalam spirit keacehan untuk mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh di masa yang akan datang,” pungkas Tiyong.*