EkonomiNews

APBA 2019 fokus untuk pengentasan kemiskinan

ANGGARAN pendapatan dan belanja Aceh (APBA), yang disahkan dalam rapat paripurna DPR Aceh, tanggal 19 Desember 2019, merupakan tercepat sepanjang sejarah penganggaran di provinsi ujung pulau sumatera ini.

ANGGARAN pendapatan dan belanja Aceh (APBA), yang disahkan dalam rapat paripurna DPR Aceh, tanggal 19 Desember 2019, merupakan tercepat sepanjang sejarah penganggaran di provinsi ujung pulau sumatera ini.

Kinerja keuangan daerah dalam penyusunan APBA 2019 ini, tidak terlepas dari kerja cepat Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA), dalam proses perumusan dan penyusunannya.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akhirnya mengesahkan Qanun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun anggaran 2019 sebesar Rp 17 triliun lebih, Senin (17/12/2018) malam.

Pengesahan RAPBA 2019 merupakan yang paling cepat dalam sejarah pengesahan APBA pasca Mou Helsinky 2005 lalu.

Tidak seperti biasa, pembahasan Rancangan Qanun Tentang APBA 2019 kali ini berjalan tanpa kendala apapun. Sejak KUA dan PPAS, pembahasannya baik ditingkat komisi, rapat Banggar hingga paripurna pengesahan qanun APBA berjalan mulus.

Semua Fraksi di DPRA dalam pandangan akhirnya menyetujui rancangan Qanun APBA tahun 2019 menjadi Qanun APBA tahun 2019.

Kepala Badan Pendapatan dan Kekayaan Aceh, Jamaluddin mengatakan APBA 2019 sebesar Rp 17 triliun yang disetujui oleh DPRA itu yakni berupa pendapatan Aceh Rp15,435 triliun dan belanja Aceh Rp17,016 triliun atau defisit sebesar Rp 1,580 triliun.

Berikut waktu pengesahan APBA dari tahun ke tahun pasca MoU Helsinky :
APBA 2005 disahkan tanggal 26 April 2005.
APBA 2006 disahkan tanggal 27 Maret 2006.
APBA 2007 disahkan tanggal 18 Mei 2007.
APBA 2008 disahkan tanggal 24 Juni 2008.
APBA 2009 disahkan tanggal 29 Januari 2009.
APBA 2010 disahkan tanggal 19 Maret 2010.
APBA 2011 disahkan tanggal 15 April 2011.
APBA 2012 disahkan tanggal 31 Januari 2012.
APBA 2013 disahkan tanggal 1 Februari 2013.
APBA 2014 disahkan tanggal 20 Desember 2013.
APBA 2015 disahkan tanggal 31 Januari 2015.
APBA 2016 disahkan tanggal 30 Januari 2016.
APBA 2017 disahkan tanggal 30 Januari 2017.
APBA 2018 (pergub) disahkan Mendagri tanggal 21 Maret 2018 dan
APBA 2019 disahkan tanggal 17 Desember 2018.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan, mulai proses penyusunan hingga proses pembahasan di TAPA dilakukan secara bersama dan kerja keras. Ia memberi apresiasi, kepada segenap pihak, terutama BPKA dan Bappeda Aceh, dan Ia yakin produk yang disusun bersama itu secara substansial telah lebih baik.

Nova menyebutkan, paska-kesepakatan KUA-PPAS 28 November lalu, tim TAPA bersama pihak legislatif sepakat melakukan percepatan penysunan rancangan APBA.

“Alhamduillah hasilnya hari ini kami dapat sampaikan Nota Keuangan tentang RAPBA 2019 dan mudah-mudaha terlaksana sesuai dengan waktu yang kita sepakati dan tetapkan bersama.”

Plt Gubernur mengatakan, dari koreksi dan rasionalisasi KUA-PPAS yang berikan TAPA kepada DPR Aceh, akan menghasilkan RAPBA 20019 yang lebih aspratif dan rasional, sehingga tuntutan kebuutuhan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

Pemerintah Aceh, kata Nova, punya 8 prioritas pembangunan yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh tahun 2019. Ke 8 prioritas itu adalah penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan dan penurunan kesenjangan antar-wilayah di Aceh melalui pengembangan kawasan strategis dan penguatan konektivitas.

Selanjutnya adalah peningkatan ketahanan pangan dan energi, penguatan Dinul Islam dan peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan investasi dan nilai tambah hasil pertanian, industri kreatif dan pariwisata. optimalisasi sumber daya alam berkelanjutan dan penurunan resiko bencana dan penataan reformasi birokrasi dan penguatan perdamaian.

Sejumlah akademisi dari kampus Universitas Syiah Kuala, menyatakan optimisme mereka terhadap perekomian Aceh pada tahun ini. Pakar dari lembaga pendidikan yang merupakan Jantong Hatee Rakyat Aceh itu, bahkan berargumentasi begitu banyak parameter yang menjadikan sikap dan keyakinan atas ekonomi Aceh.

Penegasan tersebut, disampaikan oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Samsul Rizal. Kepada media, Jumat (4/1), Ia mengatakan, instrumen anggaran dan pendapatan belanja Aceh (APBA) 2019, yang menjadi salah satu faktor pemicu, dapat dijadikan parameter untuk merasang tumbuhnya sektor lainnya.

Untuk itu, Samsul Rizal menekankan, agar Pemerintah Aceh, fokus pada penciptaan ekonomi kreatif, dengan mendorong sektor pariwisata dapat tumbuh, sebab, lanjut, bidang ini memberikan dampak langsung terhadap perputaran uang di provinsi ujung pulau sumatera ini.

Aceh yang memiliki begitu banyak potensi pariwisata, harus dapat mengambil peluang ini, dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang disandarkan pada kepariwisataan, ujarnya.

Untuk itu, kata Samsul Rizal, yang juga merupakan Dosen Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala tersebut, peran pemerintah Aceh, adalah dengan membangun sarana dan prasarana, serta pembenahan infrastruktur yang mendukung pariwisata.

Saat disinggung tentang upaya pemerintah Aceh dalam mengurangi angkat kemiskinan sebesar satu persen pertahun, Rektor Unsyiah ini mengaku agak kurang sependapat, sebab, terangnya, hal tersebut dibutuhkan kerja keras, dan upaya yang menyeluruh dari segenap pihak.

Nah, sambungnya, jika menilik dari postur APBA 2019 yang telah disahkan tersebut, dirinya sama sekali belum melihat adanya program dan kegiatan yang secara signifikan dapat mencapai hal tersebut.

Disebutkannya, saat ini, sektor yang banyak menyumbang angka kemiskinan adalah pertanian dan sektor kelautan, namun mirisnya, kedua sektor ini belum mendapatkan perhatian yang nyata dari Pemeritah Aceh, baik dari sasaran, maupun anggaran yang dialokasikan.

“Jika Pemerintah Aceh, fokus saja pada pembenahan kedua sektor ini, saya yakin, pencapaian penurunan angka kemiskinan satu persen itu dapat diwujudkan,” terangnya.

Selain itu juga, upaya penurunan angka kemiskinan mesti dibarengi dengan mendorong investasi masuk, agar hal itu dapat menciptakan lapangan kerja.

Sebut saja misalnya, saat ini, Aceh sudah memiliki kawasan ekonomi khusus (KEK) Arun, ini harus benar benar dikelola dengan baik, agar industri tumbuh, dapat menyerap tenaga kerja, mengatasi masalah pengangguran, yang kesemua itu secara otomatis berperan dalam penurunan angka kemiskinan.

Untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan laten, yang selama ini masih ada ditengah masyarakat, kata Rektor, Pemerintah Aceh harus dapat mengakses kelompok ini, yakni dengan memberikan pendidikan kepada para anak-anak mereka.

“Pendidikan juga sarana yang efektif dalam upaya pengentasan kemiskinan,” ujarnya.

Universitas Syiah Kuala sendiri, kata Samsul Rizal, siap bersinergi dengan Pemerintah Aceh, yakni dengan memberikan asistensi, atau tenaga ahli dan pakar pada berbagai bidang, untuk membantu pemerintah Aceh, dalam mencari solusi, dan mendesain berbagai program unggulan.

Berbagai hasil penelitian, literasi yang ada dikampus, sebut Rektor, akan diarahkan pada upaya membantu pemerintah Aceh mengatasi berbagai kendala pembangunan. “Unsyiah siap memberikan apapun kebutuhan akademis yang dibutuhkan pemerintah Aceh,” katanya.

Sementara itu, Dekan fakultas ekonomi Universitas Syiah Kuala, Prof Nasri Aziz, dari kondisi yang ada saat ini, Ia memproyeksikan perekonomian Aceh akan membaik. Indikatornya dipicu dari membaiknya perekonomian secara nasional, ini tentu berdampak pada ekonomi Aceh.

Parameter lainnya, yang dapat dijadikan indikator, adalah APBA 2019, yang nilainya lebih besar dari tahun sebelumnya. “APBA saat ini, besaran anggarannya kan lebih baik, dan ini merupakan instrumen penting sebagai pemicu perekonomian daerah,” tukasnya.

Disektor industri, kata Nasri, Ia melihat sudah muncul KEK Arun, dan juga kawasan industri Aceh (KIA), yang kedua kawasan ini, dapat merangsang masuknya investasi. “Investasi yang masuk ke kawasan ini, akan menyerap tenaga kerja, ini secara nyata dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh,” katanya. (advertorial)

Shares: