POPULARITAS.COM – Dinding ruang tamu rumah itu terdapat banyak foto anak-anak penderita kanker. Ada yang baru selesai menjalani operasi, sebagian lagi ada yang kepalanya plontos efek dari kemoterapi.
Children Cancer Care Community (C-FOUR), Aceh, begitulah namanya, rumah singgah penderita anak-anak kanker Aceh yang sedang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), Banda Aceh. Rumah itu menjadi tempat tinggal sementara siapapun anak-anak penderita kanker dari keluarga miskin di Aceh.
Terletak di Lamprit, Kota Banda Aceh, hanya terpaut 500 meter dari RSUZA, Banda Aceh. Rumah singgah C-FOUR bukanlah gedung yang luas dan dilengkapi dengan sejumlah fasilitas medis atau lainnya. Rumah singgah ini cukup sederhana, bangunan lama yang hanya memiliki 3 kamar disulap menjadi tempat tinggal sementara sejumlah anak-anak penderita kanker.
Meskipun demikian, rumah singgah C-FOUR yang didirikan oleh Ratna Eliza cukup tertata rapi dan bersih. Selain ada foto anak-anak penderita kanker yang sedang menjalani perawatan. Ada juga sejumlah mainan anak-anak, seperti boneka beragam bentuk, kereta sorong bayi dan mainan lainnya.
Di tengah-tengah bangunan ada ruang keluarga. Satu televisi ukuran 14 inci menjadi tempat anak-anak penderita kanker melepaskan penat. Siaran yang sering ditonton pun film kartun oleh anak-anak penderita kanker yang sedang singgah di rumah tersebut.
Sangking membludaknya pasien yang menjalani perawatan di RSUZA, Banda Aceh. Kerap kamar relawan C-FOUR pun terpakai. Seperti Selasa (27/2) saat merdeka.com kunjungi rumah singgah ini, satu kamar bahkan harus dihuni oleh dua keluarga.
Kendati demikian, anak-anak penderita kanker di rumah singgah tersebut terlihat ceria. Relawan yang datang ke situ, selalu memberikan motivasi dan mengajak anak-anak bermain.
Bahkan, relawan di rumah singgah C-FOUR Aceh kerap mengajak anak-anak penderita kanker yang sedang menjalani perawatan ke objek wisata. Seperti ke Museum Tsunami, Kapal PLTD Apung dan tentu tak pernah ketinggalan ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Satu becak motor milik C-FOUR selalu setia antar jemput pasien yang sedang menjalani perawatan bila hendak bepergian. Namun sayang, becak tersebut sudah dimakan usia, namun tetap dirawat dengan baik agar bisa menjadi alat transportasi pasien yang sedang menjalani perawatan.
Tulisan penyemangat buat pejuang kanker
Sebelum memasuki rumah singgah itu, depan pagar tertulis sehelai spanduk ‘Ku lihat, ku dengar, ku rasa’. Lalu di bawahnya ada tulisan lainnya ‘Jangan bersedih, sakitmu adalah kasih sayang Allah untuk mu’.
Tulisan itu sekilas memang biasa saja. Akan tetapi, kalimat yang tertera di spanduk panjang sekitar 4 meter itu ditujukan kepada anak-anak kanker agar kuat menghadapi penderitaan yang sedang dijalaninya.
C-FOUR bagi keluarga miskin bagaikan dewa penolong yang bisa membantu si buah hatinya untuk berobat. Rata-rata pasien yang tinggal di rumah singgah itu dari kalangan fakir miskin yang tak memiliki biaya untuk menjalani pengobatan.
Iya, biaya pengobatan di Aceh memang sudah gratis melalui program pemerintah Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan BPJS. Namun, tak cukup sampai di situ, mereka yang sedang menjalani perawatan jalan anak-anak kanker butuh tempat tinggal dan biaya hidup selama di Banda Aceh.
Bayangkan, berapa besar biaya yang harus mereka tanggung selama menjalani perawatan. Terlebih saat sedang menjalani kemoterapi atau paska operasi yang selalu berkunjung ke dokter untuk mengontrol perkembangan kesehatan pasien anak kanker dari keluarga fakir miskin.
Rumah singgah C-FOUR kemudian menjadi tumpuan harapan keluarga pasien dari kalangan fakir miskin ini. Tak dipungut biaya sepersen pun selama berada di rumah singgah. Bahkan, pasien yang tinggal di sana seluruh kebutuhan disubsidi oleh C-FOUR.
C-FOUR bahkan sampai harus menanggung biaya popok anak-anak, susu dan kebutuhan makan sehari-hari, termasuk biaya transportasi pulang pergi dari kampung mereka masing-masing. Tak jarang, C-FOUR yang merupakan lembaga sosial ikut menanggung biaya makan anak-anak mereka yang ditinggal di kampung.
Jumat, 2 Maret 2018 lalu, Ratna Eliza sempat menuliskan status di laman facebooknya, keluarga pasien di rumah singgah menghubungi dirinya. Saat itu keluarga pasien itu menyampaikan ada keluarga pasien anaknya kanker belum makan selama 2 hari, meminta makan di rumah singgah.
“Terima telepon dari ibu pasien rumah singgah dan bilang bu, ada keluarganya anak kanker baru datang dari rumah sakit. Kasian bu, mereka 2 hari tak makan, gemetaran mereka bu, dan mereka ke rumah singgah. Boleh mereka makan di rumah singgah bu. Ya Allah, langsung saya jawab, boleh, kasih mereka makan,” tulis pendiri C-FOUR Aceh, Ratna Eliza di laman facebooknya.
Inilah potret keluarga pasien dari keluarga miskin harus mengadu nasib ke Banda Aceh untuk mengobati si buah hatinya. Meskipun biaya pengobatan sudah gratis, namun kebutuhan makan sehari-hari mereka masih mengalami kesulitan.
Mereka harus menahan lapar demi menjaga dan merawat anaknya yang sedang menjalani pengobatan di RSUZA, Banda Aceh. Hanya satu asa mereka, anaknya bisa sembuh dari penyakit yang mematikan itu. Ini potret kemiskinan yang masih melanda Aceh, sebuah daerah paling ujung barat Indonesia.
“Inilah.. kisah nyata nasib orang tua pasien dari daerah demi mengobati anaknya dengan uang seadanya. Walaupun harus menahan perut yang lapar,” tulis Ratna Eliza kembali dalam laman facebooknya.
Tidak ada donator khusus selama C-FOUR menampung anak-anak penderita kanker dari keluarga miskin. Semua biaya yang dikeluarkan, merupakan sumbangan suka rela dari orang-orang yang tergerak hatinya untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung.
Kepada merdeka.com, Ratna Eliza mengaku cukup sering dia harus mengeluarkan kocek pribadinya untuk membiayai keluarga pasien yang tinggal di rumah singgah. Padahal dia hanya seorang staf keuangan di salah satu sekolah tingkat atas di Banda Aceh.
Kendati demikian, Ratna yang bukan penduduk asli Aceh tak pernah patah arang. Ibu tiga anak ini yang berasal dari Palembang selalu saja punya akal untuk mencari donator. Seperti mempublikasikan kebutuhan rumah singgah ke media sosial, lengkap dengan foto-foto mereka.
“Kalau memang sudah gak ada dana, saya cari sama kawan-kawan dekat atau saya publikasikan ke medsos, Insya Allah selalu ada yang membantu,” kata Ratna Eliza.
Saat menjalani perawatan, keluarga pasien pun diminta hanya bisa satu orang yang mendampingi. Ini disebabkan keterbatasan ruang, tempat tidur, dan juga biaya operasional.
Ratna Eliza yang akrap disapa Kak Ratna menuturkan, mulanya tergerak hatinya untuk menampung anak-anak penderita kanker, pertama kalinya melihat di samping rumah di Beurawe, Banda Aceh ada anak-anak seperti gondok, ada gumpalan besar di leher sekitar tahun 2014 silam.
Kak Ratna pun heran, penyakit gondok mengapa harus berulang kali masuk RSUZA, Banda Aceh. Berdasar pengalaman dari membaca, maklum, Ratna bukan berlatar belakang ilmu medis, tetapi hanya pendidikan formalnya Sarjana Ekonomi berpikir, gondok itu kekurangan garam yodium, mengapa bisa terjadi?
Ia pun penasaran, setelah menyapu pekarangan rumah pagi hari, memberanikan diri bertanya kepada keluarga pasien tersebut. Betapa kaget, ternyata anak tersebut sedang menderita kanker di lehernya hingga ada gumpalan besar.
Dalam ilmu medis, anak tersebut menderita kanker getah bening. Anak itu harus menjalani pengobatan secara intensif, termasuk akan dikemoterapi.
“Berawal dari situlah saya berpikir, masih banyak anak-anak seperti ini yang belum tertanggulangi dengan baik,” jelasnya.
Mulai saat itulah, Ratna kemudian mencari informasi tentang kanker. Alhasil, saat itu juga tergerak hatinya untuk membantu anak-anak penderita kanker di Aceh.
Meskipun bukan asli orang Aceh. Ratna merasa dirinya sudah menjadi bagian orang Aceh, dan untuk menolong tak harus memikirkan asal atau suku, ras dan lainnya. Menolong sesama, bagi yang membutuhkan kewajiban manusia sebagai mahkluk sosial.
Saat itulah Ratna mulai bergerilya mencari informasi keberadaan anak-anak penderita kanker di Aceh yang belum tertangani dengan baik. Baik itu faktor ketidaktahuan mereka, maupun faktor ekonomi hingga tak mampu membawa pengobatan si buah hatinya ke rumah sakit.
Lambat laun, Ratna bersama beberapa rekannya, termasuk mahasiswa yang menjadi relawan kebanjiran pasien anak penderita kanker. Akibatnya, waktu Ratna lebih banyak tersita mengurus mereka.
Sering berada di luar rumah, bahkan hingga larut malam masih menampingi anak-anak penderita kanker. Sehingga sedikit terlantar anak-anak dan suaminya yang asli orang Aceh di rumah.
Saat itulah tantangan mulai terjadi. Suaminya protes. Apa yang sedang dilakukan Ratna di luar rumah telah berkurang waktu untuk anak-anak di rumah. Suami Ratna mulanya meminta untuk berhenti dari aktivitasnya.
Ratna tak patah semangat. Suatu hari Ratna mengajak suaminya untuk melihat langsung anak-anak penderita kanker. Waktu itu awal tahun 2015, sudah ada rumah singgah yang disewa dengan mengumpulkan dana dari beberapa donatur.
Sampai di rumah singgah yang sebelumnya bukan C-FOUR namanya, tetapi Komunitas Peduli Anak Kanker (KPAK), suami Ratna malah sempat menangis melihat penderitaan mereka. Saat itulah, suami Ratna tak lagi protes dan bahkan mendorong untuk terus membantu anak-anak penderita anak kanker di Aceh.
“Suami awalnya protes, karena saya jarang di rumah. Tetapi setelah beliau lihat sendiri, eh suami bahkan menangis dan meminta untuk terus membantu mereka,” kenang Ratna.
Sejak tahun 2014 lalu, sudah 150 anak penderita kanker ia tangani pengobatannya. Tidak hanya di RSUZA, Banda Aceh, tetapi sempat juga merujuk hingga ke Jakarta, Surabaya dan sejumlah rumah sakit di Nusantara atas bantuan donator.
Rumah singgah C-FOUR Aceh ini sekarang tak pernah sepi. Pasien yang sedang menjalani perawatan selalu saja ada beragam komunitas menghibur mereka. Ini juga buah perjuangan panjang Ratna Eliza asli Palembang, menjadi ‘dokter cinta’ anak-anak penderita kanker di Aceh. [acl]
Penulis : A.Acal