News

Mangan Makhadat, tradisi makan bersama raja di Subulussalam

Tradisi budaya Mangan Makhadat ditampilkan pada PKA-8 di anjungan Kota Subulussalam. Foto: MC PKA

POPULARITAS.COM – Kota Subulussalam memiliki adat dan budaya yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satunya tradisi Mangan Makhadat atau kenduri adat, dimana pesertanya mulai tingkat raja, pemangku adat, hingga masyarakat.

Tradisi itu ditampilkan oleh panitia anjungan Subulussalam sebagai bentuk penghormatan atau pelestarian adat budaya yang masih terjaga hingga kini di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh.

Hal itu juga bertujuan untuk menggali nilai-nilai luhur dari kearifan lokal masyarakat Subulussalam bersuku Singkil itu sendiri.

Sama halnya dengan kenduri secara umum di Aceh, mangan makhadat memiliki warna penutup talam yang menunjukkan status sosial dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Seperti kuning-putih, merah, hijau dan hitam.

Warna-warna itu juga terbalut dalam tiang-tiang penyangga anjungan Subulussalam hingga pernak-pernik dan simbol kesenian yang ditampilkan dalam anjungan tersebut.

Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Subulussalam, Habibuddin mengatakan, tradisi mangan makhadat sudah ada jauh sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Secara rinci, ia mengaku tak tahu persis kapan tradisi itu mulai dilakukan.

Namun, dari literasi yang dia peroleh, tradisi tersebut sudah ada sejak Kerajaan Sinembelas, lalu kerajaan itu runtuh dan terbagi menjadi dua bagian. Ia meyakini, tradisi tersebut juga sudah ada sebelum masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda.

“Sudah lama tradisi ini. Jauh sebelum Belanda datang sudah ada,” kata Habibuddin, Jumat (10/11/2023).

Seiring waktu berjalan, tradisi mangan makhadat hanya dilakukan pada dua momen tertentu. Seperti pesta adat perkawinan dan sunat rasul.

“Momennya ada dua. Pertama waktu pesta perkawinan secara adat dan pesta sunat rasul secara adat. Itu baru keluar makanan adat. Jika tidak beradat, makanan itu tidak keluar,” jelasnya.

Warna Talam

Ada beberapa warna talam yang digunakan dalam tradisi mangan makhadat. Pertama tutup talam berwarna kuning ditujukan kepada pemangku adat yang memegang kedudukan tertinggi dalam satu wilayah atau raja pada zaman dulu. Isi dalam talamnya yaitu kepala kambing.

Kemudian berwarna putih yang diperuntukkan bagi alim ulama. Mereka adalah orang yang amanah dan jujur, sehingga putih itu diidentikkan dengan manusia yang tidak pernah berbohong. Isi talamnya berisi leher kambing.

“Putih itu ibarat orang yang selalu jujur kepada raja, alim ulama yang tentunya bersikap amanah,” ujar Habibuddin.

Kemudian warna merah yang menandakan sebagai panglima. Mereka menjaga dan memelihara daerah tersebut, sekaligus pengawal raja.

Lalu, talam berwarna hijau diberikan kepada seseorang yang ditokohkan. Mereka ini seperti konglomerat yang mempunyai sifat berwibawa. Salah satu contohnya pengusaha kaya raya yang dermawan, dan mantan pejabat untuk wilayah-wilayah tertentu. Isi talamnya diisi paha kambing.

Kemudian talam berwarna hitam, dikhususkan kepada penjaga yang berada di samping pintu, seperti Ahli Nujum atau paranormal. Mereka ini pada zaman dulu adalah orang yang pertama kali mengetahui jejak musuh yang akan menyerang. Sehingga mereka selalu ditempatkan di samping pintu.

Selain hidangan tersebut, ada juga makanan penghias dari menu utama yang disajikan dalam tradisi mangan makhadat. Habibuddin menyebut, setidaknya ada 11 kuliner tradisional yang selalu berdampingan dengan talam-talam tersebut.

“Tentunya ini kuliner Subulussalam khas suku Singkil juga. Ada 11, seperti Ndelabakh Manuk, Sambal Tuktuk dan banyak lainnya. Makanan itu tidak di hidang dalam talam, namun ada wadahnya tersendiri,” jelasnya.

Shares: