Dinas Kebudayaan dan Pariwisata AcehFeature

Mengintip objek wisata peninggalan penjajah di Kota Lhokseumawe

Mengintip objek wisata peninggalan penjajah di Kota Lhokseumawe
Goa Jepang di Kota Lhokseumawe. Foto: Int

POPULARITAS.COM – Bukit Goa Jepang di kawasan Perbukitan Blang Panyang, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Aceh, menjadi objek wisata bersejarah yang ramai dikunjungi wisatawan.

“Banyak wisatawan datang, baik lokal maupun luar daerah menikmati alam dan sambil mempelajari sejarah masa penjajahan Jepang di Aceh,” kata Khadijah, pengelola wisata Bukit Goa Jepang, di Lhokseumawe, belum lama ini.

Destinasi wisata Bukit Goa Jepang merupakan objek bangunan peninggalan masa penjajahan Jepang yang digunakan sebagai tempat persembunyian dan logistik tentara Dai Nippon tersebut kini menjadi daya tarik wisatawan.

Selain menjadi destinasi wisata, Gua Jepang dibangun pada 1942 itu menjadi bukti sejarah kelam bagi masyarakat Aceh pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.

Khadijah mengatakan setiap harinya lokasi wisata tersebut dikunjungi sekitar 200 wisatawan. Sementara pada akhir pekan mencapai dua kali lipat dibandingkan hari biasanya.

“Bahkan pada saat hari besar seperti lebaran, pengunjung bisa mencapai 1.000 orang per hari. Mereka menikmati liburan sambil berfoto ria,” kata Khadijah.

Di perbukitan tersebut terdapat 24 gua peninggalan penjajahan Jepang, namun yang dibebaskan untuk dijadikan lokasi wisata hanya satu gua saja dan memiliki tujuh lorong, kata Khadijah.

“Pengunjung bisa masuk ke dalam lorong tersebut dengan membayar sebesar Rp3.000 per orang dan Rp5.000 untuk dua orang,” kata Khadijah menyebutkan.

Khadijah menambahkan, tidak jauh dari gua tersebut, terdapat sebuah taman yang diberi nama Taman Ngieng Jioh. Taman tersebut menyajikan panorama laut dan perbukitan yang dapat memanjakan mata pengunjung.

“Untuk masuk ke lokasi wisata ini, pengunjung juga tidak perlu merogoh kocek yang besar, karena kami hanya mematok biaya Rp5.000 per sepeda motor dan Rp20 ribu per mobil,” katanya.

Namun demikian, kata Khadijah, pihaknya mengharapkan kepada Pemerintah Kota Lhokseumawe mengalokasikan anggaran untuk membuat sumur bor di lokasi tersebut untuk kebutuhan pengunjung.

“Kami juga meminta pemerintah menambah arena permainan untuk anak-anak di taman wisata ini. Dengan begitu, dapat meningkatkan jumlah pengunjung ke tempat wisata ini,” katanya.

Jamal, wisatawan asal Langsa, Aceh, mengatakan dirinya sengaja datang ke lokasi wisata Bukit Goa Jepang karena penasaran dengan keindahan alam yang disajikan di lokasi tersebut.

“Saya datang bersama keluarga. Kami penasaran saat lihat di media sosial akan panorama alam di sini. Apalagi tempat wisata ini memiliki nilai sejarah di masa lampau,” katanya.

Goa Jepang, obyek wisata sejarah di Lhokseumaeh, Aceh. Foto: Genpi.co

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe Zul Afrizal mengatakan taman wisata Bukit Goa Jepang tersebut merupakan andalan destinasi wisata di daerah itu.

“Ini lokasi wisata yang memiliki sejarah saat penjajahan Jepang di Indonesia, khususnya di Aceh. Apalagi destinasi wisata ini berada di atas perbukitan dengan ketinggian mencapai 120 meter,” katanya.

Dari lokasi tersebut, kata Zul Afrizal, mata pengunjung dimanjakan dengan panorama alam perairan Selat Malaka, perbukitan dan kawasan industri. Bahkan juga terlihat daratan Kota Lhokseumawe.

Lokasi wisata sejarah Bukit Gua Jepang tersebut dikelola oleh kelompok masyarakat setempat yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis), kata Zul Afrizal.

“Untuk datang ke destinasi wisata tersebut, hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan jarak sekitar delapan kilometer dari pusat Kota Lhokseumawe,” katanya.

Tidak hanya destinasi wisata Bukit Goa Jepang, kata Zul Afrizal, destinasi wisata budaya dan sejarah lainnya juga tidak kalah menarik yakni Masjid Agung Islamic Centre, Makam Putroe Neng, Makam Siyah Hutdam, dan Makam Tgk Chik Di Paloh.

“Kami juga terus mencari destinasi lainnya untuk dijadikan wisata sejarah dan kebudayaan guna menarik kunjungan wisatawan ke Kota Lhokseumawe,” kata Zul Afrizal.

Shares: