NewsPolitik

Raperpres Pelibatan TNI Tangani Teroris Buka Ruang Militer Terlibat di Ranah Sipil

Raperpres Pelibatan TNI Tangani Teroris Buka Ruang Militer Terlibat di Ranah Sipil
Presidium Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman

 – Sejumlah elemen sipil khawatir terhadap Rancangan Peraturan Presiden (RaPerpres) tentang oelibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia.

Raperpres itu dinilai bisa berpotensi mengulang pengalaman konflik masa lalu, karena telah membuka ruang militer terlibat di ranah sipil secara lebih luas.

Presidium Balai Syura, Suraiya Kamaruzzaman mengingatkan tentang sejarah pelaksanaan operasi militer di Aceh yang dampaknya masih menyisakan trauma bagi masyarakat di Aceh, terutama perempuan hingga sekarang.

“Aceh pernah mengalami konflik selama 30 tahun, dimana ada 16 operasi militer yang dilaksanakan, mulai dari Operasi Manggala 1977 sampai dengan Tertip Sipil (19 Mai 2005 sd 4 Agustus 2005),” kata Suraiya Kamaruzzaman, Kamis (3/12/2020) melalui siaran pers.

Yang paling dikenal, sebutnya, Operasi Jaring Merah yang terjadi sejak Mei 1989 sampai 22 Agustus 1998, menyebabkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan dan pembakaran desa.

Dampak dari ragam operasi militer tersebut menimbulkan banyak yang kehilangan keluarga, ketakutan, trauma, kehancuran ekonomi, pemiskinan sistematis, kehancuran peradaban.

”Yang menyebabkan hari ini Aceh tertinggal dalam seluruh aspek pembangunan, misalnya angka kemiskinan nomor 2 se-Sumatera, kualitas guru nomor 29 se-Indonesia, angka stunting lebih dari 30% dan Angka Kematian Ibu (AKI), serta Angka Kematian Anak (AKA) masih tinggi,” sebutnya.

Padahal saat itu operasi militer dilakukan dengan aturan yang jelas, sebutnya lagi, ada batasan kewenangan, ada batasan waktu pelaksanaan dan batasan wilayah, tetapi tetap berpotensi terjadinya pelanggaran HAM berat dan kejahatan kemanusiaan.

Suraiya menjelaskan, dalam Raperpres disebutkan pula aspek penangkalan, kewenangan TNI meliputi pemberdayaan masyarakat, kontra narasi dan kontra pro paganda, dan intelejen.

Kalau mengacu pada aturan sebelumnya, kewenangan untuk penangkalan dan pemulihan ada di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sejak beberapa tahun telah membentuk Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah sebagai mitra strategis untuk pencegahan terorisme melalui Peraturan Kepala BNPT PER – 03/K.BNPT/1/ 2017 yang membuka ruang partisipasi masyarakat dalam proses pencegahan.

“Mengkritisi Rancangan Perpres ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan upaya pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme, hanya harus ada aturan main yang jelas dan tidak terkesan tumpang tindih dengan kewenangan lembaga yang sudah dibentuk dan memiliki tugas yang sama dalam mengatasi aksi terorisme serta mencegah potensi menyalahi kewenangan dan pelanggaran HAM,” jelasnya.

Perlu Ada Pembatasan Kewenangan

Akademisi Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman mengingatkan pentingnya pembatasan kewenangan. Sehingga upaya pemberantasan terorisme tidak berpotensi menyalahi kewenangan dan pelanggaran HAM.

“RaPerpres terorisme berpotensi melanggar norma-norma standard HAM manusia dan standar politik berbasis pada supremasi sipil, serta dapat mengarah pada ancaman politik baru yakni terbentuknya rezim politik dapat membawa berbagai perangkat regulasi dan hegemoninya dari era Suharto dalam kondisi politik post-otoritarianisme,” jelasnya.

Sementara itu, Feri Kusuma dari KontraS menilai Ranperpres ini dipaksanaan dan sarat muatan politis dan terkesan terlalu dipaksakan. Sehingga pesan yang tertangkap seperti ada motivasi atau tujuan politik tertentu, yang hendak menjerumuskan TNI dalam imajinasi peran dan fungsi seperti masa lalu – masa sebelum era reformasi dan perkembangan zaman seperti sekarang.

Lanjutnya, hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang sering diucapkan oleh Presiden Jokowi yang selalu menyampaikan ingin negara ini maju, dengan program revolusi mental, revitalisasi revolusi mental, reformasi struktural, reformasi hukum.

“Disamping itu, dalam UUD 45, dan berbagai peraturan lainnya sudah sangat jelas disebutkan bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional, perlu penataan fungsi, peran, tugas, hubungan dan syarat-syarat lainnya setiap komponen dan organ pemerintah,” jelasnya.

Feri menegaskan RanPerpres ini dapat merusak tatanan hukum, mencampuradukkan fungsi antar organ pemerintah, merusak agenda reformasi TNI yang selama ini diupayakan oleh berbagai kalangan. Baik akademisi, masyarakat, mungkin juga sebagian kalangan internal TNI dan Purnawirawan TNI yang menginginkan TNI menjadi lebih baik.[]

Shares: