NewsPolitik

“Selama Ini UUPA Terkesan Jadi Komoditas Politik Para Elit”

BANDA ACEH (popularitas.com) – Pasal demi pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau akrab dikenal UUPA yang sejatinya menjadi turunan MoU Helsinki dinilai bakal terus berguguran sebelum diimplementasikan untuk kepentingan daerah. Hal ini disebabkan karena UUPA selama ini terkesan menjadi komoditas elit untuk menyampaikan aspirasi politik di dalam undang-undang.

Demikian disampaikan peminat politik Aceh, Haekal Afifa, Kamis, 20 Juni 2019, menjawab maraknya polemik Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki UUPA yang dibentuk DPR Aceh.

“Begitu aspirasi ini tidak terakomodir ada beberapa pasal di-judicial review kembali. Ini logika yang salah kalau menurut saya. Jadi bukan bicara Aceh interest, tapi bicara elit interest,” kata Direktur Institut Peradaban Aceh (IPA) tersebut.

Baca: Tim Advokasi MoU Helsinki Jadi Bagian Negosiasi Aceh Terhadap Pusat

Dia menyebutkan kondisi tersebut membuat UUPA rentan di judicial review, terlebih ketika aturan tersebut tidak disusun atas dasar kepentingan Aceh. Seharusnya, kata Haekal, DPR Aceh memikirkan bagaimana UUPA tidak digugat oleh para pihak. “Ataupun membangun suatu narasi umum agar kebijakan-kebijakan terkait Aceh itu tidak bisa diutak-atik,” kata perintis museum digital Hasan Tiro tersebut.

Dia turut mempertanyakan apa saja yang sudah dilakukan oleh Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki UUPA bentukan DPR Aceh selama tiga bulan terakhir. Seperti diketahui, pimpinan DPR Aceh mempercayakan 13 orang dalam sebuah tim guna mengkaji dan mengadvokasi MoU Helsinki pada Maret 2019 lalu. Tim tersebut nantinya diharapkan menjadi bagian negosiasi kepentingan Aceh terhadap pusat.

Tim tersebut bertujuan untuk melihat sejauh mana sudah MoU Helsinki terlaksana melalui turunannya, UUPA. Adapun tim berada di bawah tanggung jawab Teuku Kamaruzzaman, SH dengan koordinator Prof H Dahlan, SH.,MH.

Baca: Ini 13 Nama Tim Kajian Dan Advokasi MoU Helsinki Bentukan DPRA

Penerjemah buku Atjeh Bak Mata Donja milik Hasan Tiro tersebut mengaku tidak mempermasalahkan orang-orang yang didapuk dalam tim tersebut. Lagipula orang-orang itu diketahui memiliki kapasitas di bidang masing-masing. “Saya mengenal beberapa yang memang memiliki pengetahuan histori tentang konflik Aceh dan Indonesia. Mungkin 2 persen lah, tapi yang lainnya tidak paham kapasitas mereka dalam hal perdamaian di Aceh,” kata Haekal.

Meskipun demikian dia menilai komposisi tim kajian tersebut penting dipertimbangkan karena perjanjian damai RI dan GAM di Helsinki melibatkan pihak internasional. Dia juga menilai perlunya didorong progress kajian MoU Helsinki tersebut. Jikapun ada yang menilai komposisi di dalam tim tidak layak, Haekal menganjurkan agar DPRA melakukan rekruitmen.

Baca: DPRA Bentuk Tim Kaji MoU Helsinki, Haekal Afifa: Jangan Seremonial Belaka

Apakah seharusnya DPRA turut melibatkan komponen mantan kombatan GAM di dalam tim kajian MoU Helsinki tersebut? Mengenai hal ini, Haekal dengan tegas menjawab, “saya pikir itu tidak perlu. Karena dari dulu saya sudah mengatakan seharusnya GAM itu menjadi king makers. Sehingga dia memiliki nilai tawar dalam menjaga perdamaian. Cuma dalam hal ini transformasi GAM justru masuk ke dalam ruang politik yang sangat praktis sehingga sampai saat ini terkesan mereka tidak memiliki bargaining politik apapun.”

Baca: M@PPA: DPR Aceh Itu Jagonya Bicara Dana Aspirasi

Di sisi lain, Haekal berharap kedua belah pihak saling percaya antara satu sama lain. “Pusat jangan lagi berpikir bahwa semua langkah yang ditempuh elit-elit Aceh itu untuk bertujuan kemerdekaan. Begitu juga Pemerintah Aceh sendiri tidak melulu berpikir bahwa pemerintah pusat itu penipu. Dengan begitu kita dapat merawat perdamaian,” pungkas Haekal Afifa.*(BNA)

Shares: