EkonomiHeadline

Stop Berpikir Menjadi Golden Boy!

SAHABAT wartawan menuturkan, “di kampungnya pernah terjadi bencana alam banjir bandang. Warga-pun mengungsi dan bermalam di masjid dan musala yang aman dari air bah. Mereka masih tertidur pulas, ketika azan subuh berkumandang. Menjelang iqomah marbot masjid berusaha membangunkan para pengungsi untuk menunaikan salat subuh. Betapa terpananya sang marbot saat mendengar alasan para pengungsi, mereka masih trauma dengan air sehingga tidak berani berwudhu.”

Musibah ternyata tidak menyadarkan mereka untuk bertaubat dan memperbaiki diri dengan kuantitas dan kualitas ibadahnya, tetapi dengan alasan korban bencana, mereka ingin diistimewakan untuk tidak beribadah. Dengan kata lain mereka berharap menjadi “anak emas” atau “golden boy-nya” Tuhan Yang Maha Pengasih dengan berlepas diri dari kewajiban ibadah mahdhah, seperti wudhu, tayammum, puasa, salat, mandi hadast, haji, umrah. No way!

Salah satu kemunduran Islam adalah kuatnya dorongan menjadi “golden boy” dengan alasan Islam adalah satu-satunya agama yang haq. Memang benar! Tidak ada bantahan, tetapi jangan diterjemahkan dengan sikap pasrah kepada takdir bahwa segala sesuatu akan disediakan oleh Allah SWT tanpa usaha. Sehingga prilaku malas, selalu berharap, mencari jalan pintas untuk sukses akan terus menyelimuti ummat Islam.

Demikian juga kita sebagai orang Aceh dengan kegemilangan sejarah indatu, bencana tsunami dan konflik selama 32 tahun akibatnya berkecenderungan ingin mewarisi predikat “golden boy”. Sehingga pada masa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR NAD-Nias) masih berada di Aceh adalah puncak orang Aceh benar-benar menjadi ‘golden boy,” sampai membersihkan halaman rumahnya sendiri digaji.

Kita sudah cukup berpengalaman soal bahaya laten prilaku “golden boy.” Besar harapan jangan lagi kembali ke tikungan itu. Sekarang ini, betapa sudah tatanan pembangunan sedang lari kencang menuju ke arah yang lebih baik. Jangan karena pemimpin Aceh memelihara “golden boy” dalam bentuk pribadi maupun kelompok akan mendorong masuk kembali ke jurang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

Pada akhir 2005, ketika terjadi  Perdamaian RI-GAM, euphoria mantan kombatan sebagai “golden boy” telah membuat iri sebagian besar masyarakat Aceh yang dianggap terlalu berlebihan menguasai berbagai sektor kegiatan. Sedangkan masyarakat sebagai tameng pada masa bergrilya belum tersentuh oleh manisnya buah perdamaian. Pada awal pertemuan silaturrahmi para kombatan datang dengan warna warni sendal jepit, dalam silaturrahmi selanjutnya sudah berparkir mobil-mobil Innova dan double cabin.

Periode selanjutnya tahun 2006-2011, para mantan kombatan semakin mendapat tempat di semua lini; dari proyek sampai kedudukan di pemerintahan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sebagai tim ini dan itu setelah sukses memenangkan Pilkada. Ada dua kelompok “golden boy” pada masa itu; mantan kombatan yang berafiliasi kepada Irwandi Yusuf, dan aktivis SIRA yang berkiblat kepada Muhammad Nazar.

Berikutnya pada periode tahun 2012-2017, Pilkada dimenangkan oleh dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf lahir “golden boy” baru menindas “golden boy” lama yang terdiri orang-orang Partai Aceh dan relawan. Meskipun pada akhirnya “golden boy” mengerucut pada kelompok yang lebih kecil, yang merupakan salah satu penyebab Abu Doto kalah dalam kontestasi pada Pilkada berikutnya.

Pada periode 2017-2022, pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah menjadi pemenang Pilkadasung. Pasangan yang diusung oleh enam partai dan relawan telah mengantarkan kepada visi misi Aceh Hebat, tetapi karena terlalu berlebihan memberikan keleluasaan mengatur proyek kepada “golden boy” akhirnya menyebabkan Irwandi Yusuf tertangkap tangan oleh KPK pada tahun 2018 lalu.

Sederet pengalaman tentang cerita pilu “golden boy” telah menjadi guru yang terbaik untuk kita semua, yang kadang kala untuk mendapatkan predikat tersebut disusunlah skenario ala drama Korea dengan tema pertikaian di antara kaum pria yang haus kekuasaan. Percayalah, masyarakat sudah bosan dengan tontonan klise seperti itu.

Mari kita kembali kepada paham meritokrasi atau seseorang ditempatkan dan dihargai berdasarkan keahlian dan kemampuannya, yang mungkin kebijakan itu dianggap oleh sebagian orang tidak populer, tetapi suasana batin seperti inilah yang sebenarnya dirindukan masyarakat umum. Di mata pemimpin tidak ada “anak emas” maupun “anak tiri,” seluruh masyarakat sama di hadapan pemimpin.

Akhirnya, kalau orang Aceh ingin maju; berhentilah segera dari bercita-cita menjadi “golden boy.” Kehidupan ini terus berjalan, masa lalu ya masa lalu, sekarang waktunya untuk berubah. Mari kita bangun anak-anak tangga berkeahlian untuk menggapai cita-cita yang tinggi; bahagia dalam kesejahteraan.

*Penulis adalah Fauzan Azima, Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Sosial.

Shares: