BANDA ACEH (popularitas.com) – Penyitaan rumah dan mobil (aset) mantan Bupati Simeulue, Darmili oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh ternyata tidak serta merta mendapat tanggapan positif bagi pegiat antikorupsi. Pasalnya, tersangkanya masih dibiarkan bebas alias tidak ditahan.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai, penyitaan aset tanpa menahan tersangka menggambarkan penyidik masih mengutamakan pengembalian kerugian keuangan negara, belum mempertimbangkan efek jera bagi pekakunya.
“Ketika penyidik Kejati melakukan penyitaan asset tersangka, sementara pelaku tidak disentuh, kesannya penyidik hanya fokus penyelamatan keuangan negara sementara pelaku dibiarkan bebas dan ini jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku,” kata Alfian kepada popularitas.com, Jumat, 28 Juni 2019.
Lagipula, kata Alfian, kasus dugaan korupsi dana penyertaan modal PDKS tahun 2002-2012 sumber APBK Simeulue ini, bukan kasus baru, tetapi kasus yang penanganannya sudah terbilang lama. Penyelidikan (full buket) sudah sejak tahun 2013 meskipun sprindiknya terbit di September 2015.
Mestinya, ketika aset sudah disita dan status tersangka pun sudah cukup lama (Maret 2016), maka Kejati sudah dapat melakukan penahanan terhadap pelaku.
“Kasus korupsi itu kejahatan luar biasa bukan kasus biasa,” tegas Alfian.
Baca: Kejati Aceh Sita Rumah Darmili di Neusu
Koordinator MaTA tersebut mengakui ada persyaratan khusus bagi penyidik untuk menahan seorang pejabat negara, karena Darmili selaku tersangka kasus PDKS merupakan seorang anggota DPRK Simeulue. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh ( UUPA) Pasal 29 ayat (1) disebutkan, “Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRA dilaksanakan setelah dikeluarkannya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden atau persetujuan Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRK.”
Ayat (2), dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lama 60 hari sejak diterimanya permohonan proses penyidikan dapat dilakukan.
Sedangkan ayat (3), tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2.
“Artinya memang harus ada surat permintaan ke gubernur karena Darmili merupakan anggota DPRK. Namun, di ayat (2) sangat jelas, apabila dalam masa 60 hari surat tertulis disampaikan kepada gubernur namun izin tak juga terbitkan, penyidik dapat langsung menahan tersangka. Pertanyaannya apakah penyidik Kejati sudah melayangkan surat tersebut kepada Gubernur Aceh?” tanya Alfin sembari mengatakan, “Semoga tidak ada yang berlindung dengan surat tertulis ini.”
Terkait surat persetujuan tertulis gubernur pada tersangka PDKS, pihak Kejati Aceh belum memberikan tanggapan. Ketika ditanya pada Aspidsus, Rahmadsyah, ia mengatakan tak bisa berkomentar di media terkait hal ini. Dia menyarankan agar mengonfirmasi ke Kasi Penkum atau Kajati Aceh.
Namun, ketika ditanya ke Kasipenkum, Munawal menjawab harus bertanya lebih dahulu kepada penyidik. “Maaf bang saya harus tanya ke penyidik dulu,” demikian jawaban terakhir diterima popularitas.com, sekira pukul 17.00 WIB. Hingga kini popularitas.com masih terus menunggu jawaban resmi dari pihak penyidik Kejati Aceh. (RED)