NewsPolitik

DPRA Bentuk Tim Kaji MoU Helsinki, Haekal Afifa: Jangan Seremonial Belaka

Haekal Afifa | BBC

BANDA ACEH (popularitas.com) – Pembentukan Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki UUPA oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengundang polemik di ruang publik. Tim yang terdiri dari 13 orang tersebut dinilai tak tepat dan terkesan hanya menghabiskan anggaran daerah.

Namun pendapat lain diutarakan Direktur Institut Peradaban Aceh (IPA) Haekal Afifa. Menjawab popularitas.com, Kamis, 20 Juni 2019 siang, pemuda berkacamata tersebut menilai pembentukan tim ini lebih kepada bargaining Aceh di mata pusat. Haekal tidak mempersoalkan adanya pembentukan tim ini demi memperbaiki kelemahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006, yang menjadi implementasi MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. Asalkan pembentukan tim tidak bersifat seremonial semata,

“Kita berharap tim advokasi ini dibentuk bukan semata-mata karena seremonial, seperti yang telah terbentuk jauh sebelumnya dengan lembaga Less MoU, misalnya, yang memang notabenenya dibentuk untuk mengawasi butir-butir perdamaian, khususnya peace building, pembangunan perdamaian. Jadi tidak terkesan badan yang dibentuk sekarang hanya untuk menghambur-hamburkan anggaran uang rakyat,” kata Haekal.

Baca: Ini 13 Nama Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki Bentukan DPRA

Pria yang mendalami pemikiran Hasan Tiro tersebut juga berharap tim bentukan DPR Aceh itu dapat mempublikasikan progres kinerja mereka ke ruang publik. Hal ini dinilainya penting agar masyarakat mengetahui posisi perdamaian antara Aceh-Indonesia di masa mendatang.

Saat ini, ada yang beranggapan bahwa implementasi butir-butir MoU Helsinki dalam regulasi sebenarnya terganjal di Sumber Daya Manusia (SDM) lokal. Terkait hal ini, Haekal membantah pemikiran tersebut. Dia kemudian menunjuk banyaknya SDM lokal yang mengenyam pendidikan di luar negeri, baik yang menggunakan biaya sendiri maupun mendapat beasiswa dari pemerintah di masa perdamaian, telah menyelesaikan study-nya. Begitu juga dengan SDM di bidang agama.

“Mereka sudah bisa untuk diajak pulang, berpikir bersama-sama untuk membangun Aceh,” katanya.

Baca: Tim Advokasi MoU Helsinki Jadi Bagian Negosiasi Aceh Terhadap Pusat

Dia berharap dengan SDM inilah diperlukan peran pemerintah daerah untuk mengakomodir semua pemikiran intelektualitas tersebut menjadi satu gagasan, untuk merawat perdamaian di Aceh agar menjadi lebih baik. Jadi, menurutnya, Aceh bukan tidak memiliki SDM karena sudah menjadi tugas pemerintah Aceh mengirim pemuda-pemuda untuk belajar.

Di sisi lain, Haekal mengakui banyak implementasi MoU Helsinki yang belum direalisasikan Pemerintah Pusat alias Jakarta. Dia mencontohkan seperti kewenangan pemerintah daerah.

“Dalam MoU Helsinki disebutkan, setiap kebijakan DPR RI menyangkut Aceh sudah seharusnya meminta persetujuan DPR Aceh. Nah, dalam hal ini saya melihat selama ini tidak ada kebijakan-kebijakan DPR RI yang ditempuh melalui mekanisme yang disebut dalam MoU Helsinki ini,” ungkap Haekal.

Selanjutnya, penulis buku Tiroisme ini juga menilai adanya hal paling esensial dalam MoU Helsinki adalah persoalan tafsir dalam memahami kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Dia menilai kesamaan tafsir ini penting agar dapat ditindaklanjuti bersama. “Jika tidak, Pusat juga selalu beralasan berbenturan dengan undang-undang yang paling atas, di sisi lain Aceh juga diberikan untuk membuat kebijakannya sendiri,” tambah Haekal.

Baca: Butir MoU Helsinki Tak Tuntas, DPR Aceh Bentuk Tim Kajian dan Advokasi

“Hal ini menjadi salah satu poin untuk dipikirkan oleh tim atau badan kajian advokasi ini bagaimana mencari korelasi keduanya dalam satuan hukum positif di Indonesia,” lanjut Haekal lagi.

Pria yang pernah menerjemahkan tulisan Hasan Tiro berjudul “Atjeh Bak Mata Donja” tersebut juga mengakui masih banyak persoalan MoU Helsinki yang belum direalisasikan. Namun persoalan bagaimana MoU Helsinki tersebut ditafsirkan dalam bahasa hukum dinilai Haekal sudah selesai. “Bagaimana tafsiran UUPA itu sendiri, ya itu yang mungkin itu yang mungkin bisa menghambat atau menjadi solusi. Wewenang UUPA ini kan ada di DPRA.”

Seharusnya, kata dia, pemerintah Pusat tidak melihat produk hukum yang dihasilkan pemerintahan Aceh sebagai bagian dari produk politik. Namun, menurut pria tersebut, produk tersebut harus dianggap pure sebagai produk hukum. “Jangan dianggap negatif, jangan menilai Aceh negatif, bertujuan merdeka dan sebagainya. Saya pikir itu sudah selesai,” pungkas pria tersebut.*(BNA)

Shares: