JAKARTA (popularitas.com) – Aceh memiliki potensi wisata yang luar biasa. Di sisi lain, banyak wisatawan yang ingin berkunjung ke Aceh untuk menyaksikan peninggalan bencana Tsunami. Potensi ini sudah sepatutnya dirawat dan dijaga karena dapat menambah devisa untuk negara, serta menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Apalagi tengah didorong ikon wisata halal,” kata Ketua Komite III DPD RI, Bambang Sutrisno, dalam rapat kerja antara para anggota/senator Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dengan jajaran Satuan Kerja Pemerintah Provinsi Aceh, Polda Aceh, Kodam Aceh dan organisasi serta aktivitis bidang pariwisata dan disabilitas di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Aceh, di Banda Aceh, Selasa, 12 November 2019.
Rapat kerja tersebut dilakukan dalam rangka inventarisasi materi penyusunan hasil pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Rombongan Komite III DPD-RI dipimpin oleh Ketua Komite III yaitu Bambang Sutrisno. Ikut serta dalam rombongan para anggota Komite III DPD RI seperti Muhammad Gazali, Fadhil Rahmi, Muslim M Yatim, M Sum Indra, Eva Susanti, dr. Jihan Nurlela, Ust. Zuhri M Syazali, Ria Saptarika, Evi Zainal Abidin, dan Maya Rumanti.
Sedangkan dari Pemerintah Provinsi Aceh dipimpin oleh Asisten Daerah III Pemerintah Provinsi Aceh Drs. Bukhari MM.
Bambang mengatakan sejumlah potensi tersebut dapat menjadi destinasi tersendiri bagi Aceh. Dengan begitu, kata dia, DPD-RI mendukung dan mendorong dikembangkannya pariwisata di Aceh.
Sedangkan terkait dengan penyandang disabilitas, Bambang Sutrisno berharap, terdapat sinergitas kebijakan pusat dan daerah untuk berpihak pada penyandang disabilitas. Seperti kebijakan memperkerjakan penyandang disabilitas baik di instansi pemerintah maupun swasta. “Demikian pula keberadaan sekolah-sekolah bagi disabilitas perlu ditambah, baik jumlah maupun kualitasnya,” katanya.
Pada sesi diskusi disampaikan pemaparan berturut-turut dari Kepala Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan Provinsi Aceh, Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Aceh dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh.
Dalam paparan dimaksud disampaikan, Aceh memiliki potensi besar terkait wisata, termasuk wisata halal. Terdapat Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2013 tentang Kepariwisataan yang menaungi legalitas kebijakan.
Terdapat 966 destinasi wisata dan 700 orang pemandu wisata bersertifikat yang menjadi aset bagi kemajuan wisata di Aceh. Tantangannya yang harus dibenahi diantaranya, penguatan sarana prasarana menuju destinasi pariwisata, kebutuhan penambahan run way di bandara, penataan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan serta membangun masyarakat yang sadar wisata sehingga membuat nyaman wisatawan.
Sedangkan terkait disabilitas, Pemerintah Provinsi Aceh memiliki perhatian terkait hal dimaksud. Seperti secara berkelanjutan dilakukan program pemberdayaan dan rehab disabilitas seperti memberikan bantuan kursi roda, bantuan kaki dan tangan palsu. Termasuk pula program pendayagunaan para penyandang cacat dan ekstrauma.
Meski demikian masih terdapat hal yang perlu dibenahi. Seperti validasi data penyandang disabilitas yang belum akurat, ketidakseimbangan antara anggaran dan jumlah penyandang disabilitas, serapan tenaga kerja penyandang disabilitas masih minim dan perhatian terhadap organisasi disabilitas belum optimal.
Para senator dari Komite III DPD-RI dalam rapat tersebut turut memberikan masukan konstruktif. Mulai dari ide perlu pameran atau bursa kerja untuk kaum disabilitas, penguatan komunitas masyarakat sadar wisata serta perlu pembenahan data penyandang disabilitas agar menjadi pedoman pada pengambilan kebijakan.
Selain menyelenggarakan rapat di Pemprov Aceh, rombongan Komite III DPD-RI melakukan kunjungan lapangan ke Panti Yayasan Sahabat Difabel Aceh Terapi dan Edukasi Rumah Celebral Palsy di Jalan Geulumpang Kecamatan Kruung Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar.
Di lokasi kunjungan, Komite III DPD-RI mendapatkan informasi kekurangan jumlah terapis yang sebaiknya dibiayai pemerintah daerah, keterbatasan anggaran pada panti dan kebutuhan dukungan semua lapisan masyarakat yang memadai.*(RIL)