Pileg dan Pilpres 2019

Surat SBY “Buka Tabir” Pengelompokan di Kubu Prabowo

Idap kanker prostat, SBY akan berobat ke luar negeri
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Foto: Suara Islam

JAKARTA (popularitas.com) – Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief kembali mengungkap ‘dapur’ internal Koalisi Adil Makmur yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019.

Kali ini, Andi menyebut terdapat faksi-faksi atau pengelompokan di internal koalisi Prabowo-Sandi. Ia menyebut terdapat ‘Faksi Keumatan’ dan ‘Faksi Kerakyatan’ dalam tubuh koalisi tersebut.

Dalam gelaran Pilpres 2019, Prabowo-Sandi didukung lima partai politik yakni Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan Berkarya. Demokrat, kata Andi, tak mau bergabung di Faksi Keumatan dan lebih memilih untuk membentuk Faksi Kerakyatan.

Pernyataan Andi ini keluar sehari setelah Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menulis surat berisi kritik terhadap kampanye akbar PrabowoSubianto di Stadion Utama GeloraBungKarno (GBK), kemarin.

Dalam suratnya SBY menyebut kampanye akbar Prabowo tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye politik nasional yang seharusnya bersifat inklusif.

Baca: SBY Surati Tiga Pejabat Demokrat Soal Kampanye Capres, Ini Isinya

Andi menegaskan pihaknya tak ingin Faksi Keumatan menjadi pemimpin koalisi Prabowo-Sandiaga. Jika tidak, menurutnya lebih baik Partai Demokrat yang memimpin koalisi ini.

“Partai Demokrat ingin yang memimpin koalisi ini atau komando koalisi ada di tangan Pak Prabowo,” kata Andi, Senin 8 April 2019, seperti dilansir dari CNNIndonesia.

Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai pernyataan Andi Arief sebagai petunjuk penting bagi masyarakat yang ingin membaca goyangnya soliditas di internal parpol koalisi Prabowo-Sandiaga.

Wasis menilai pernyataan Andi Arief secara gamblang memperlihatkan adanya faksionalisasi di internal pendukung koalisi Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019 ini.

“Faksionalisasi sebagai dinamika organisasi yang itu menunjukkan adanya beragam kepentingan yang perlu diakomodasi,” kata Wasisto, Senin 8 April.

Lebih lanjut, Wasis menilai fenomena faksionalisasi merupakan situasi yang biasa dan hampir selalu ada dalam kehidupan politik di seluruh dunia.

Ia menyatakan faksionalisasi akan terjadi bila suatu kelompok-kelompok kecil di dalam suatu koalisi atau organisasi memiliki tujuan tertentu untuk memenangkan kepentingannya sendiri sebagai tujuan akhirnya.

“Jadi di internal Prabowo sendiri menunjukkan adanya beragam kepentingan yang perlu diakomodasi. Salah satunya kepentingan Demokrat,’ kata dia.

Seraya mengamini pernyataan Andi Arief, Wasis menggolongkan dua jenis karakter parpol yang kini berada dalam gerbong koalisi parpol pengusung Prabowo-Sandi berdasarkan platformnya masing-masing.

Mereka diantaranya adalah parpol yang berhaluan agamis yang diisi oleh PKS dan PAN. Kedua parpol itu, kata Wasis, memiliki platform yang menjunjung nilai agama Islam.

Ia menyatakan kedua parpol ini memiliki keunggulan untuk memobilisasi jaringan kader di akar rumput (grassroots) yang loyal dalam tiap perhelatan kampanye.

“Saya kira definisi ‘faksi keumatan’ versi Andi Arief tersebut mencerminkan adanya kelompok-kelompok parpol Islam ini dan plus simpatisan FPI dan PA 212 di dalamnya,” kata dia.Selain itu, Wasis menyatakan Partai Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Berkarya merupakan parpol yang memiliki platform berbasis nasionalis-sekuler.

Ia menyatakan ketiga parpol tersebut lebih mengandalkan sumberdaya berupa keunggulan pendanaan ketimbang basis massa yang loyal.”Nah ini yang menurutnya [Andi Arief] lebih pada ‘faksi kerakyatan’, tapi Demokrat sendiri belum terlihat kontribusinya, Gerindra dan Partai Berkarya menggunakan kekuatan finansial untuk berkampanye,” kata dia.

Wasis menilai parpol dengan basis keagamaan, atau dalam istilah Andi Arief Faksi Keumatan, telah memegang peran penting dalam proses mobilisasi massa di kampanye terbuka Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019 ini.

Salah satu contohnya, kata dia, terlihat saat penggalangan massa pada gelaran kampanye akbar Prabowo-Sandiaga Stadion Utama Gelora Bung Karno yang digelar Minggu (7/4) lalu.”Kalau dilihat dari komposisi massa yang hadir saat itu jelas didominasi ‘faksi umat,'” kata Wasis.

Politik Jalur ‘Tengah’ Demokrat

Lebih lanjut, Wasisto menilai Demokrat hanya sekadar sedang mencari ‘jalan aman’ dalam perhelatan Pemilu serentak tahun 2019 kali ini.

Ia menilai partai berlambang Bintang Mercy itu memiliki kepentingan untuk meraup lebih banyak suara elektoral di Pemilihan Legislatif ketimbang berkontribusi bagi pemenangan Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019.

“Demokrat pada dasarnya fokus ke Pileg daripada Pilpres, jadinya kerja di koalisi Prabowo juga tidak terlalu signifikan,” kata Wasis.

Melihat hal itu, Wasis menilai Demokrat sedang ‘menjauhi’ labeling ‘Faksi Keumatan’ yang telah terpatri dalam benak banyak orang ketika mendengar soal koalisi Prabowo-Sandiaga.

Hal itu bertujuan agar Demokrat tak mempersempit segmentasi atau jangkauan latar belakang calon pemilihnya di Pileg 2019 kelak.

“Karena pada dasarnya Demokrat selalu berada di ‘tengah’, bukan ke ‘kanan’. Kalau berbau ‘kanan’ itu berisiko politik soal kompetisi suara, karena akan mempersempit peluang suara masuk,” kata Wasis.

Senada dengan Wasis, Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun menyebut pernyataan Andi Arief yang enggan bergabung ke dalam ‘Faksi Keumatan’ di Koalisi Prabowo-Sandiaga hanya sekadar teknik untuk menaikkan citra Demokrat jelang Pemilu 2019.

Ubedilah menilai Demokrat hanya ingin mengesankan sebagai parpol yang inklusif dan dapat diterima semua golongan ketimbang hanya dipilih oleh segmentasi pemilih tertentu di Pemilu 2019.

“Itu salah satu bentuk menaikkan elektoral Demokrat aja, jadi kayak Demokrat adalah partai inklusif, padahal kalau kita baca pikiran-pikiran partai yang di koalisinya Prabowo kan punya pikiran itu juga,” kata Ubedilah kepada CNNIndonesia.com.

Lebih lanjut, Ubedilah menilai Demokrat belum matang secara politik untuk melakukan komitmen bersama untuk koalisi di Pilpres 2019 kali ini. Sebab, kata dia, Demokrat sudah nyaman dengan sikap netral yang diambilnya dalam lima tahun belakangan ini.

“Akibatnya mereka gagap dalam masuk dalam sebuah koalisi yang di dalamnya memang sudah ada partai-partai yang dahulu sudah berkoalisi sebagai oposisi,” kata dia.

Sumber CNNIndonesia

Shares: