News

Tim Gugus Covid-19 Aceh Dinilai Tak Responsive Gender

Tim Gugus Covid-19 Aceh Dinilai Tak Responsive Gender
Ilustrasi, Wakil Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 Aceh, Dyah Erti Idawati, memantau pelaksaan rapid test terhadap 82 Oorang Dalam Pemantauan (ODP) di Puskesmas, Montasik, Aceh Besar, Kamis. (ist)

BANDA ACEH (popularitas.com) – Kinerja Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Pemerintah Aceh juga tak luput mendapat sorotan dari elemen sipil di Aceh.

Elemen sipil Aceh menilai tidak ada kejelasan kinerja selain juga tidak memperlihatkan pendekatan yang responsive gender. Selama ini masyarakat tidak pernah tahu tugas tim tersebut, selain menginformasikan jumlah Orang Dalam Pengawasan, Pasien Dalam Perawatan (PDP) dan pasien positif Covid-19 di Aceh, dengan penjabaran data yang netral gender.

Adapun elemen sipil yang menyoroti kinerja Covid-19 adalah Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA), Flower Aceh, Forum LSM Aceh, Katahati Institute, KontraS Aceh, YLBHI LBH Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Solidaritas Perempuan (SP) Aceh.

Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul mengatakan, padahal di samping persoalan kesehatan, masyarakat juga berjibaku didera masalah ekonomi dan sosial. Terutama dialami oleh kelompok-kelompok rentan sehingga data terpilah menjadi hal penting yang harusnya disiapkan oleh Gugus Tugas dalam menjalankan program-program di masa pandemi ini.

Pada kegiatan penyaluran bantuan juga menuai banyak sekali persoalan. Tidak adanya kriteria penerima yang dibangun dengan sumber anggaran yang jelas. Meski Pemerintah telah menentukan bahwa bantuan Covid-19 ini hanya diperuntukkan bagi OMB (orang miskin baru), bukan penerima PKH (Program Keluarga Harapan) dan penerima BLNT (Bantuan Langsung Non Tunai).

Namun hingga saat ini tidak ada data yang dapat diakses untuk melihat penerima. Jenis bantuan yang diberikan juga belum memenuhi kebutuhan spesifik warga yang memiliki keragaman kebutuhan seperti lansia, disabilitas, balita, ibu hamil, orang dengan HIV AIDS, masyarakat terpencil dan kelompok marjinal lainnya.

“Hal ini terjadi karena respon kedaruratan belum menggunakan data pilah gender dan analisa kebutuhan berbasis gender,” kata Syahrul.

Masyarakat Sipil juga mengamati bahwa kebijakan PUG dalam situasi darurat penanganan bencana, yang dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 13 tahun 2014 tentang PUG dalam penaganan bencana. Di dalamnya mengatur kewajiban memperhatikan pengalaman perempuan dan anak perempuan pada saat bencana agar intervensi penanganan sesuai dengan kebutuhan perempuan.

“Juga tidak terlihat menjadi rujukan bagi Satgas Penanganan Covid Aceh,” tukasnya.

Menurutnya, keadaaan ini sangat berpotensi terjadinya penyaluran bantuan yang tumpang tindih dan tidak tepat sasaran. Situasi ini dapat memicu konflik sosial antar warga dan dapat menimbulkan persoalan baru yang akan semakin mempersulit kondisi.

“Sehingga masyarakat banyak yang mengeluh, dan ini bisa memicu konflik sosial, karena ada yang seharusnya dapat bantuan kalau dilihat dari kondisi ekonominya dan malah tidak mendapatkan bantuan tersebut,” tutup Syahrul.[acl]

Shares: