News

30 Persen Pelaku Rudapaksa Anak di Aceh Dihukum Cambuk

Implementasi syariat Islam di Aceh gagal, salah siapa?
Ilustrasi, algojo melakukan eksekusi cambuk terhadap terpidana liwath atau gay di Taman Bustanussalatin, Kota Banda Aceh, Kamis (28/1/2021). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Mahkamah Syar’iyah (MS) Aceh mengklaim, hanya 30 persen pelaku rudapaksa atau pelecehan terhadap anak di provinsi paling barat Indonesia itu yang dicambuk sesuai Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Sementara selebihnya dikenakan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA).

“Kami kemarin itu pernah mencoba menguji memetik dari hasil-hasil putusan Mahmakah Syar’iyah se-Aceh itu hanya 30 persen, yang uqubat ini terhadap anak itu adalah cambuk, selebihnya penjara,” sebut Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Rafi’uddin, Kamis (24/3/2021).

Oleh karena itu, Rafi’uddin membantah jika ada yang menyebut Mahkamah Syar’iyah Aceh dan kabupaten/kota banyak memvonis pelaku rudapaksa terhadap anak dengan qanun jinayat, yakni hukuman cambuk.

“Isu yang keluar itu adalah seluruhnya dipakai cambuk, padahal tidak sama sekali. Hanya berapa persen yang memakai cambuk,” jelas Rafi’uddin.

Dia menjelaskan, vonis yang dijatuhkan kepada setiap pelaku rudapaksa anak tentunya melalui pertimbangan hakim. Apabila hukuman cambuk tak membuat pelaku jera, maka akan dikenakan hukuman sesuai UU Perlindungan Anak.

“Maka banyak sekali perkara-perkara dari jinayat anak itu yang diputus dengan penjara, karena pertimbangannya kalau dihukum dengan cambuk, itu nanti anak yang menjadi korban dalam keluarga atau dekat dengan rumahnya atau sekampung dengan dia, maka anak ini terus menjadi trauma, menjadi korban terus menerus dalam kehidupannya, maka diterapkanlah penjara.”

“Saya yakin isu yang keluar itu bahwa lebih banyak dipakai cambuk untuk jinayat anak itu, nggak benar, itu boleh dilakukan penelitian,” tambah Rafi’uddin.

Ia menambahkan, dalam proses persidangan, UU Perlindungan Anak dan Qanun Jinayat selalu berada berdampingan. Majelis hakim juga melakukan berbagai pertimbangan sebelum memvonis terdakwa.

“Kalau hanya difokuskan ke jinayat nggak cukup. Karena anak saja tidak tahu definisinya seperti tadi kan, sudah dewasa, baligh itu ukurannya apa. Maka diperlakukan juga, bukan qanun tapi UUPA,” katanya.

Editor: dani

Shares: