HeadlineNews

Anies Baswedan dimata Teguh Santosa

Thomas Trikasih Lembong
Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa saat tampil jadi pembedah buku pada acara peluncuran buku Anies Baswedan The Rising Star, Senin (29/1/2024). FOTO : Langkah Anies

POPULARITAS.COM – Indonesia butuh pemimpin yang bukan kaleng-kaleng. Sosok tersebut harus figur kuat yang dapat memimpin bangsa ini hadapi situasi dan tantangan global. Nah, rekam jejak itu melekat kuat pada profil Anies Baswedan yang saat ini berkontestasi pada Pemilihan Presiden RI 2024.

Pandangan itu diutarakan Teguh Santosa, saat tampil sebagai salah satu pembedah buku Anies Baswedan The Rising Star, Senin (29/1/2024) di Jakarta.

Bahkan, kata Teguh Santosa, jika seandainya Anies Baswedan adalah Presiden RI 2019 silam, maka konstelasi geopolitik global tidak akan seperti saat ini. Bisa saja, Rusia tak akan serang Ukraina, atau Indonesia akan berdiri ditengah satukan Iran dan Arab Saudi.

Seperti itulah seharusnya pemimpin Indonesia, sebagai negara besar, punya ekonomi kuat, negara kita semestinya dapat lebih memaikan peran globalnya dalam percaturan politik dunia. Namun, sungguh, hal tersebut sama sekali tidak terjadi. Jika seandainya pada 2019 Anies Baswedan adalah presiden, hal-hal tersebut sangat bisa mungkin diwujudkan, papar Teguh Santosa.

Diplomasi politik Indonesia sangat lemah. Bahwa kemudian bangsa ini jadi pemimpin G-20 atau Asean, itu hanya semata-mata terjadi karna pergiliran. Negara ini bisa dikatakan hebat, jika benar-benar memainkan peran-peran strategisnya, misalnya pemimpin Indonesia bisa jembatani dialog Kim Jon-un dan Donald Trump dan itu terjadi di tempat kita, ulas Teguh.

Faktanya, itu semua hanya andai-andai jika Anies Presiden RI 2019, dan itu bisa mungkin terwujud sebab karakter dan kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta itu, adalah kualifikasi pemimpin yang dibutuhkan masyarakat dunia.

Tapi, tak ada istilah terlambat untuk jadi presiden, saatnya pada 2024 ini, Anies Baswedan harus terpilih sebagai pemimpin Indonesia, agar negara ini bisa memainkan perannya dalam situasi dunia global yang makin dalam situasi ketidakpastian.

Indonesia harus miliki pemimpin yang punya karakter global, sebab, tantangan dunia kedepan semakin kompleks. Pemimpin Indonesia 2024 harus mampu memainkan perannya ditengah, tidak bisa ditarik keatas atau kebawah. Nah, figur itu terletak pada sosok Anies Baswedan sebab tokoh bangsa itu diakui intelektualitasnya dalam daftar 100 intelektual publik dunia.

“Indonesia harus dipimpin intelektual dunia, jangan sosok kaleng-kaleng yang memimpin negara ini. Bangsa ini terlalu besar jika presidennya kaleng-kaleng,” kata Teguh.

Karna itu, karakter, rekam jejak dan profil calon pemimpin Indonesia agar bangsa ini dapat mencapai situasi tersebut, harus dipimpin Anies Baswedan. Sosok yang miliki reputasi internasional dan pengakuan dunia yang dipastikan mampu membawa bangsa ini mencapai tujuan sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

“Indonesia butuh pemimpin berkarakter global dan itu hanya melekat pada Anies Baswedan,” sebut Teguh yang juga merupakan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) itu.

Dibuku Anies Baswedan The Rising Star yang diluncurkan tersebut, semua orang bisa melihat seperti apa pengakuan dunia kepada sosok Anies Baswedan. Citra politik yang diberitakan media internasional berpengaruh, seperti CNN, Washington Post, The Sydney Mording Herald, jadi gambaran tentang citra politik mantan Gubernur DKI Jakarta itu dimata mayoritas masyarakat dunia, papar Teguh kemudian.

Perubahan Bidang Diplomasi

Sementara Co-kapten Timnas Amin, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengatakan, salah satu program Anies-Muhaimin adalah perubahan di bidang diplomasi agar Indonesia tidak sekadar hadir. Dia juga menyoroti praktik diplomasi saat ini lebih berupa transaksional berdasar hitungan untung rugi.

“Diplomasi kini bergeser bukan berbasis nilai dan norma-norma, nurani. Untuk mengambil pendekatan itu harus tahu dulu apa nilai atau norma kita. Prinsip pertama Pak Anies dalam diplomasi adalah lebih menjunjung tinggi nyawa manusia di atas segala-galanya,” ujar Lembong.

Menurut Lembong, jika ada benturan antara nyawa dan industri, misalnya, maka yang harus mengalah adalah industri. 

“Contoh polusi, bisa merusak atau meghilangkan nyawa itu sudah gak benar dan itu melanggar nilai yang kita junjung bahwa nyawa di atas segala-galanya,” jelas Lembong. “Ini sebenarnya sesuai Sila Kedua Pancasila.”

Thomas Trikasih Lembong saat jadi pembicara pada peluncuran buku Anies Baswedan The Rising Star, Senin (29/1/2024) di Jakarta

Lembong melanjutkan, prinsip kedua yang akan diterapkan Anies adalah keadilan. Hal ini sejalan dengan asas keadilan pada Sila Kelima Pancasila. 

“Misalnya Ukrania diserang Rusia itu bisa disebut adil atau tidak atau apakah itu sesuai dengan norma atau nilai kita pegang? Atau penindasan rakyat Palestina oleh Israel selama puluhan tahun, apakah itu adil, apa itu fair? Prinsip itu yang dipegang teguh Pak Anies dalam semua formulasi kebijakannya,” tegas Lembong. “Kompas moral itu paling utama.”

Kemudian Lembong menggarisbawahi kira kira apa konsekuensi bagi Indonesia dalam konflik Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Indonesia, sambung dia, tak berpihak pada Tiongkok dan tidak pula berpihak pada AS. “Tapi sekurang-kurangnya kita konsisten berpegang pada prinsip teguh pada nilai nilai kita, mungkin tidak sempurna untuk solusi, tapi bila memang harus kompromi, kita tak pernah lupa tujuan jangka panjang kita ke mana,” ujarnya. 

Lembong menambahkan, Anies paham internasionalisme itu sangat penting dan dari dulu sudah penting. “Mengutip dari Presiden pertama RI, Soekarno, beliau mengatakan bahwa nasionalisme tidak subur jika tidak hidup di dalam taman sari internasionalisme. Sebaliknya internasionalisme tidak dapat subur jika tidak berakar pada bumi nasionalisme. Jadi kedua-keduanya penting.” 

Kondisi saat ini, Lembong melanjutkan, semakin genting dan memerlukan kerja sama internasional karena tantangan-tantangan seperti krisis iklim dan kesehatan publik, tak bisa diselesaikan bahkan oleh negara adikuasa atau kelompok negara. “Butuh kerja sama seluruh negara di dunia, semua harus berkontribusi, dan Indonesia harus ada di dalamnya,” tandas dia.

Shares: