News

Budaya Konsumtif Jadi Peluang Lintah Darat Aktif

Para lintah darat terkadang memanfaatkan budaya hidup masyarakat yang konsumtif untuk dapat mengembangkan bisnisnya, sehingga tak butuh promosi untuk memikat konsumen. Banyak di antara "nasabah" justru terpikat karena mudahnya syarat yang diberikan.
Ilustrasi

Para lintah darat terkadang memanfaatkan budaya hidup masyarakat yang konsumtif untuk dapat mengembangkan bisnisnya, sehingga tak butuh promosi untuk memikat konsumen. Banyak di antara “nasabah” justru terpikat karena mudahnya syarat yang diberikan.

***

PERSOALAN ekonomi dan persaingan hidup masyarakat menjadi salah satu faktor yang membuat rentenir berkedok koperasi tumbuh berkembang di Banda Aceh. Kebutuhan terhadap benda yang kadang-kadang belum terlalu penting turut menggoda iman warga kurang mampu untuk meminjam uang dalam jumlah banyak. Alhasil, mereka secara tidak sadar menjerat dirinya sendiri dalam jurang utang.

Tak sedikit warga kurang mampu lantas menyasar perbankan. Namun, dalam memberikan pinjaman kredit, bank kerap meminta anggunan yang menjadi kendala besar bagi warga miskin. Selain itu, proses mendapat pinjaman juga seringkali membutuhkan waktu lama. Syarat-syarat inilah yang kemudian membuat warga kurang mampu berpaling ke lembaga pemberi pinjaman lain serupa lintah darat.

Apalagi para rentenir mampu memberikan sejumlah uang tanpa anggunan dan prosesnya berlangsung cepat. “Rentenir sepersekian detik aja, langsung uangnya keluar. Malah ada yang berani tanpa anggunan. Jadi bagi masyarakat, wah ini mudah ambil saja karena setelah dihitung-hitung bisa dikembalikan,” kata pakar ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Iskandar Madjid awal April 2019 kepada popularitas.com.

Sistim yang diberlakukan oleh para lintah darat memang untuk menjerat para peminjam agar tidak lepas dari mereka. Banyak hal yang dilakukan semisal memberlakukan bunga pinjaman jauh melebihi pinjaman pokok, atau denda-denda bunga yang tak kunjung usai. Ini sangat berbeda dengan sistem yang diterapkan koperasi atau lembaga perbankan.

Baca: Jejak ‘Lintah Darat’ di Negeri Syariat

“Dikatakan bunga berbunga ya, selalu sangkut berkepanjangan. Banyak orang jadi miskin begitu kan. Bukan malah terbantu. Itu yang terjadi saat ini,” kata Iskandar lagi.

Berurusan dengan lintah darat juga tidak pernah berakhir baik. Menurut Iskandar, ini disebabkan alasan yang salah saat meminjam uang seperti untuk membeli kebutuhan-kebutuhan rumah tangga atau sepeda motor. Padahal, pada awal transaksi meminjam uang tersebut adalah untuk modal usaha.

“Saat kewajiban memulangkan nggak sanggup, ya tentu dikejar si rentenir untuk pembayaran. Bisa jadi di situ hidup udah nggak nyaman lagi. Kemana-mana kita dikejar,” tambah Iskandar Madjid.

Masalah lain yang memantik warga terjerat praktik lintah darat karena budaya konsumerisme tinggi. Kecanggihan teknologi saat ini telah membuat iklan-iklan produk masuk hingga ke dalam rumah-rumah, dan menyasar individu baik dari kalangan ibu-ibu rumah tangga hingga anak-anak di bawah umur. Jual beli online juga kadung menjadi masalah. Kemudahan bertransaksi tanpa beranjak dari tempat duduk tak jarang membuat warga ketagihan berbelanja.

Industri yang pesat juga menyebabkan masyarakat tergoda untuk membeli barang-barang keluaran terbaru. Belum lagi kemudahan yang diberikan untuk seseorang, yang hendak membeli sepeda motor sekarang ini. Mereka cukup memiliki uang senilai Rp500 ribu.

Akibatnya budaya masyarakat yang semula produktif menjadi beralih ke konsumtif.

“Jadi kemudahan-kemudahan seperti ini sebenarnya menyebabkan masyarakat beralih fungsi dari sifatnya ingin produktif, ternyata menjadi konsumerisme,” kata Iskandar.

Beda sistem koperasi dengan rentenir

Iskandar Madjid menjelaskan banyak perbedaan antara sistem koperasi dengan praktik rentenir. Koperasi memiliki badan hukum yang diakui dan diketahui oleh pemerintah. Lembaga koperasi juga mendapat pengawasan pemerintah dan memberikan pinjaman modal hanya untuk anggota saja.

Baca: Jejak ‘Lintah Darat’ di Negeri Syariat (2)

Setiap tahunnya, koperasi diwajibkan menggelar rapat anggota tahunan. Jikapun sebuah koperasi memberikan pinjaman kepada anggotanya, maka ada besaran bunga yang disepakati. “Biasanya juga dikenakan bunganya nggak besar. Berbeda dengan rentenir. Kalau koperasi, biasanya pinjaman yang diberikan ada batas waktu. Namun, kalau rentenir akan bersambung terus, apakah karena bunganya yang tinggi dan ketika nggak sanggup bayar, bunga tersebut berbunga lagi. Jadi nggak akan pernah selesai,” ungkap Iskandar.

Sistem seperti ini diduga sengaja dilakukan para lintah darat untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari modal yang dikeluarkan. Ini berbanding terbalik dengan sistem koperasi yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya.

Dia tidak menampik banyak masyarakat yang terjebak karena taksiran bunga antara koperasi dengan rentenir bernilai sama. Namun, hal perlu diingat adalah ketika seseorang bertransaksi dengan rentenir rentan kehilangan aset berharga mereka seperti misalnya tanah ataupun rumah.

Pemerintah diharapkan mampu melahirkan sebuah regulasi untuk meminimalisir atau bahkan mengusir praktik lintah darat di negeri syariat. Tak hanya itu, pemerintah juga diharapkan melahirkan produk hukum yang membatasi pembelian produk dengan sistem kredit, baik sepeda motor ataupun kredit rumah, sehingga masyarakat tidak terjerumus dengan rentenir.

“Kita harus menghidupkan pembiayaan-pembiayaan yang syariah. Tidak hanya perbankan, sehingga lebih terjangkau ke masyarakat. Nantinya masyarakat tidak lagi melihat kepada kredit-kredit yang mudah diambil, tapi susah dikembalikan,” tambah Iskandar.

Lebih lanjut, pakar ekonomi ini juga menyarankan pentingnya kampanye untuk menyadarkan masyarakat agar tidak terjebak dengan budaya konsumtif. Pemerintah juga diharapkan membentuk lembaga keuangan mikro untuk melindungi masyarakat.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan mengoptimalkan penggunaan dana desa untuk modal usaha bagi warganya. Namun penggunaan dana desa tersebut memerlukan personal garansi sehingga menjamin uang tersebut berputar positif.

“Misalnya ibu A nih, bisa diberikan pembiayaan untuk dia buat kue, siapa jamin? Pak geuchik, karena dia adalah warga geuchik tersebut. Ada KTP, ada KK, nggak mungkin lari dia,” kata Iskandar Madjid lagi.

Dia berharap pemanfaatan dana desa untuk modal usaha tersebut tidak dikenakan bunga. Sehingga masyarakat mudah mencicil kembali pinjamannya. Pemanfaatan dana desa untuk modal usaha juga dianjurkan untuk tidak menggunakan anggunan. “Kalau minta jaminan (kepada warga peminjam) mana ada, dia buat kue, misalnya, mana jaminannya? Untuk hidup aja susah. Nggak usah pakai bunga sekarang, kembalikan saja udah cukup,” pungkas Iskandar.* (Tim Redaksi)

Shares: