EditorialHeadline

Milad GAM dan kontroversi bendera bintang bulan

Hari ini, 4 Desember 2021, perayaan Milad GAM tetap terlaksana. Ditengah situasi damai yang telah berusia 16 tahun. Sejumlah isu lokal dalam penguatan perdamaian antara RI dan GAM telah diwujudkan. Namun polemik bendera masih menjadi tarikan kuat antara elit politik nasional dan Aceh.
Milad GAM dan kontroversi bendera bintang bulan
Ilustrasi. (Foto: waspada)

Setiap 4 Desember, merupakan peristiwa penting bagi masyarakat Aceh. Momentum itu adalah perayaan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Organisasi tersebut, adalah simbol perlawanan pada periode negeri ujung barat Sumatra itu bergejolak. Konflik lebih dari tiga dasawarsa berakhir dengan damai. Namun ingatan terhadap tanggal ‘keramat’ itu tetap dikenang kala Dr Muhammad Hasan Di Tiro, 45 tahun lalu, tepatnya 4 Desember 1976 mendeklarasikan Aceh Sumatara National Liberation Front (ASNLF) dengan GAM sebagai sayap militernya.

Hari ini, 4 Desember 2021, perayaan Milad GAM tetap terlaksana. Ditengah situasi damai yang telah berusia 16 tahun. Sejumlah isu lokal dalam penguatan perdamaian antara RI dan GAM telah diwujudkan. Namun polemik bendera masih menjadi tarikan kuat antara elit politik nasional dan Aceh.

Bendera bintang bulan yang menjadi simbol GAM, kerap menjadi polemik antara pihak keamanan dan masyarakat Aceh. Tak jarang hal tersebut bahkan menjadi sumber kericuhan.

Sebagian warga Aceh, terutama mantan kombatan GAM, dan para pendukung barisan organisasi itu, berpegang pada aturan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang Aceh. Namun, pusat juga bergeming menggunakan Peraturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2007 tentang lambang daerah.

Puncaknya, kedua aturan itu terus bertabrakan, dan tidak ada satu kepastian dari pemerintah Indonesia, ataupun pemerintah Aceh yang secara tegas mengatur soal bendera bintang bulan.

Mengacu pada Qanun Nomor 3 tahun 2013, setiap Milad 4 Desember, sebagai pihak di Aceh tetap kibarkan bintang bulan. Namun aparat TNI dan Polri memegang PP 7 tahun 2007.

Kontroversi tentang bendera terus berlangsung, sejak Qanun diundangkan 8 tahun silam. Dan tidak ada konsensus bersama, baik antar pusat dan pemerintah Aceh tentang hal tersebut.

Semestinya, jika pusat tidak setuju terkait dengan bendera bintang bulan, dapat menggunakan kewenangannya membatalkan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 tersebut, atau agar soal bendera tidak terus menjadi persoalan, revisi saja PP Nomor 7 tahun 2007 tersebut, sehingga memungkinkan bendera bintang bulan tidak menjadi barang haram.

Bagaimanapun, kontroversi bendera bintang bulan harus segera diakhiri, dengan opsi-opsi yang saling memberikan ruang kepada semua pihak dapat menerimanya. Agar persoalan bendera itu tidak menjadi faktor trigger konflik berulang di negeri serambi mekkah ini. Hal yang utama tentu saja, mengakhirkan polemik tersebut dalam semangat merawat damai Aceh dalam bingkai NKRI. (***EDITORIAL)

Shares: