HeadlineNews

BPMA tak bermanfaat bagi Aceh

Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) merupakan institusi pengatur hulu migas di provinsi ujung barat Sumatera ini. Sebagai regulator sektor minyak dan gas bumi di daerah ini, lembaga itu terbentuk atas   perjuangan panjang rakyat Aceh menuntut keadilan ekonomi.
BPMA tak bermanfaat bagi Aceh
Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal

POPULARITAS.COM – Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) merupakan institusi pengatur hulu migas di provinsi ujung barat Sumatera ini. Sebagai regulator sektor minyak dan gas bumi di daerah ini, lembaga itu terbentuk atas   perjuangan panjang rakyat Aceh menuntut keadilan ekonomi.

Terbentuknya BPMA tidak terlepas dari MoU Helsinki, yang kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh. Amanat dari UUPA maka dibentuklah aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh.

Secara operasional, BPMA telah menjalankan kiprahnya, hal tersebut ditandai dengan terbentuknya manajemen dan peesonalia lembaga itu yang diisi sejumlah ASN, dan juga tenaga ahli bidang perminyakan.

Secara struktural, personalia BPMA terdiri dari unsur kepala, wakil, dan sejumlah deputi serta direktur di posisi top level, serta puluhannya lainnya dibagian asisten dan staf.

Dalam kurun beberapa tahun terakhir, kinerja BPMA tidak menunjukkan hasil signifikan terhadap pendapatan dana bagi hasil migas bagi Aceh. Hal itu terlihat dari daftar alokasi dana transfer pusat ke daerah dalam DIPA 2022. Bagi hasil minyak bumi dan gas bagi Aceh hanya sebesar Rp75,16 miliar.

Kordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal, kepada popularitas.com, Senin (6/12/2021) mengatakan, jika membandingkan pendapatan Aceh dari sumber Migas sebelum adanya BPMA, bagi hasil migas bagi Aceh pada kisaran Rp400 miliar hingga Rp450 miliar pertahunnya. Justru kini ketika tata kelola Migas Aceh berada ditangan BPMA, penerimaan Aceh hanya tinggal Rp75 miliar saja. Sungguh sangat paradoks dengan semangat awal pembentukan BPMA yaitu mendongkrak pendapatan Aceh dari sektor Migas.

Contohnya, rinci Syakya, pada 2013, Aceh mendapatkan dana bagi hasil migas Rp450 miliar, dan pada 2014 Rp443 miliar. Nah pendapatan itu merupakan DBH Migas yang berlaku secara nasional, belum termasuk TDBH Migas atau tambahan dana bagi hasil migas.

Padahal, katanya lagi, para pejabat BPMA yang duduk di top level manajemen, memiliki gaji yang fantastis, namun kinerjanya sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat Aceh.

Mengutip lampiran surat keputusan Menteri Keuangan RI, Kepala BPMA setiap bulannya mendapatkan gaji setara Rp65 juta, diluar tunjangan profesional (TP). Itu belum termasuk biaya lain-lain. Sedangkan di level Wakil Kepala, dibayarkan Rp59 juta, dan deputi pada angka Rp46 juta setiap bulannya.

“Gaji mereka sangat besar, tapi hasil kerja NOL,” kecam Syakya.

Akibat menurunnya penerimaan Aceh dari DBH dan TDBH Migas, sambung Syakya lagi, Aceh Timur sebagai daerah penghasil hanya menerima dana bagi hasil migas sebesar Rp6,9 miliar, Aceh Tamiang Rp2,1 miliar, dan Aceh Utara Rp1,4 miliar. Sementara kabupaten dan kota lain yang berstatus non penghasil hanya menerima Rp525 juta.

Dari gambaran ini terlihat nyata bahwa para pejabat BPMA tidak memiliki kinerja yang sepadan dengan gaji yang mereka dapatkan. Mereka juga seperti tidak memiliki strategi yang jelas untuk mendorong peningkatan produksi Migas lapangan eksisting maupun dari sumber-sumber baru.

Bahkan, kata Syakya kemudian, bisa jadi pembayaran gaji dan operasional BPMA selama ini diperoleh dari pemotongan DBH Migas Aceh, sebab mereka merupakan pejabat struktural Kementerian ESDM yang pembayaran gaji dan tunjangannya dilakukan oleh pusat.

Jika asumsi itu benar bahwa pembayaran gaji dan operasional BPMA dipotong dari dana bagi hasil migas Aceh, maka sungguh terlalu jika lembaga itu tidak berkontribusi maksimal dalam menopang perekonomian daerah ini dari sumber pendapatan minyak bumi dan gas.

Jika tidak segera memperbaiki kinerjanya, saya ingin mengatakan bahwa BPMA sungguh tiada berguna, demikian Syakya Meirizal.

Shares: