POPULARITAS.COM – Badriah (65), salah satu perajin Kopiah Riman di Gampong Dayah Adan, Mutiara Timur, Pidie. Industri Keci Menengah (IKM) Pusaka Maha, milik perempuan itu, telah berdiri sejak 1986, dan kini, pandemi global Covid-19 dua tahun terakhir, telah ‘membunuh’ usaha perempuan tua itu.
Ketika popularitas.com mendatangi tempat usahanya, hari itu Badriah tengah duduk diatas bangku kayu di depan rumahnya. Ia masih mengenakan kerudung berpadu dengan kain sarung hijau yang menutup bagian bawah tubuhnya. Guratan wajahnya masih tampak tanda air.
“Maaf yah, saya baru selesai sholat,” katanya, saat mengetahui kedatangan popularitas.com, Kamis, 26 Mei 2022 silam.
Kopiah Riman sendiri, merupakan kerajinan khas Pidie. Disebut Riman, karena pada era Kesultan Iskandar Muda, kopiah ini dibuat dari pohon riman pada masa itu. Namun seiring perkembangan zaman, dan keberadaan pohon riman mulai langka, masyarakat menggantinya bahan baku riman dengan pohon aren, sebab miliki struktur serat yang serupa.
Menurut catatan sejarah, Kopiah Riman dulunya dikenakan oleh para bangsawan di Pidie, dan juga oleh para Sultan di Kesulatan Iskandar Muda.
Sembari duduk, tangan Badriah terlihat menyambung helai demi helai serat yang aren yang berbentuk tipis, dan memanjang. Usianya yang terbilang sepuh, sama sekali tidak mengurangi kecepatannya membuat Kopiah Riman.
Badriah kemudian menjelaskan, untuk membuat dan mencetak Kopiah Riman, tidak butuh waktu panjang. Namun yang lama itu adalah proses penyiapan baha bakunya.
Untuk mendapatkan serat aren sebagai bahan baku, langkah pertama adalah menghancurkan pelepah aren dengan cara di pukul-pukul, Hal itu dimaksudkan untuk menghilangkan ampas serat. Selanjutnya, serat-serat itu dipilih menggunakan jarum, dari pemilihan ini nantinya akan dihasilkan serat kasar dan halus.
Nah, serat halus itu nantinya digunakan untuk bagian dalam kopiah, dan serat kasar untuk bagiar luar. Selanjutnya serat-serat ini di rebus dalam panci bersama dengan daun keladi, bunga tanjung, dan putik kelapa. Fungsinya daun-daun itu sebagai pewarna alami. Proses perebusan butuh waktu 10 jam.
Setelah bahan baku siap, proses selanjutnya adalah merajutnya untuk menjadi kopiah, ragam bentuk, ukuran, dan motif akan menentukan waktu dan lama pengerjaan Kopiah Riman, terangnya lagi.
Beberapa motif yang biasa di kerjakan olehnya, seperti Corak Pintu Aceh, Bungong Tron, Bungong Puten, Rantai Pagar, Kaki Kepiting dan Bunga Tambak.
“Sebelum Covid-19, masih banyak yang pesan. Satu bulan Ia memproduksi 200 kopiah untuk di jual toko Souvenir,” ungkapnya.
Namun, kondisi Pandemi dan pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mencegah Covid-19 saat itu, membuat tidak ada wisatawan datang ke Aceh, dan praktis pesanan kopiah tidak ada lagi.
Untuk harga Kopiah Riman, Badriah menjualnya pada kisaran harga Rp150 ribu hingga Rp250 ribu. Namun kini praktis Ia tidak berproduksi lagi, dan bahkan, tiga puluh orang yang bekerja dengannya memproduksi kopiah riman, terpaksa tidak bekerja lagi.
Dirinya hanya berharap, Pemerintah Aceh ataupun Pemkab Pidie, dapat memfasilitasi penjualan produksi IKM Pusaka Maha miliknya. Saat ini, dirinya tidak memiliki akses pasar dan juga biaya promosi, karenanya dia butuh sentuhan tangan pemerintah.
Dia mengatakan, hanya membutuhkan akses pemasaran, dan pihak-pihak yang bersedia membeli Kopiah Riman yang Ia produksi, Hal itu agar dirinya dapat kembali merekrut orang-orang yang dulu bekerja bersamanya.
Saat ini, meskipun tidak ada yang memesan, dirinya tetap melakukan produksi, dan terus merajut kopiah riman. Sebab baginya, menekuni usaha tersebut untuk menjaga tradisi leluhur yang diwariskan padanya. Selain itu juga, untuk memastikan regenerasi perajin kopiah, dirinya kerap berbagi ilmu dengan masyarakat sekitar, dan hasilnya sudah banyak warga yang mahir membuat produk sejenis.
Editor : Hendro Saky