HeadlineNews

Cerita Mereka yang Gagal Mencoblos

Dia yang tak ingin golput tersebut, pada akhirnya harus angkat kaki dari TPS dan sama sekali tak bisa ikut berpartisipasi di pesta demokrasi 5 tahunan itu.
Warga etnis Tionghoa di salah satu TPS di Banda Aceh | Foto: Al Asmunda

BANDA ACEH (popularitas.com) – Kekecewaan tak bisa disembunyikan oleh Mulidah (53) dan Farida Iriyani Nasution (36) yang tak bisa menyalurkan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Gampong Peunayong Banda Aceh. Semangat mereka yang ingin mencoblos itu pupus saat petugas PPS mengatakan kalau dua perempuan tersebut tidak bisa memilih lantaran tidak terdaftar dalam DPT. Mereka tak terima, dan sempat beradu mulut dengan petugas setempat.

“Dapat informasi dari media sosial katanya tetap bisa memilih kalau memiliki e-ktp, gimana ini nggak jelas,” kata Mulidah.

Perempuan asal Kebumen Jawa Tengah tersebut sejak pukul 09.00 WIB pagi sudah keluar rumah untuk menuju ke TPS. Ikut bersama Mulidah dua orang keluarganya dari Jakarta yang mengaku datang ke Aceh, ingin berziarah ke kuburan orangtua mereka.

Perempuan paruh baya itu sempat dibuat bingung lantaran mendapat informasi dari petugas pemilu di sana. Menurut pengakuannya, ia bahkan mondar-mandir dari pusat informasi ke TPS hanya untuk memperoleh kesempatan mencoblos.

“Saya punya KTP, ini bukti saya orang Indonesia berarti saya juga berhak untuk bisa memilih,” ujarnya bernada kesal.

Mulidah mengaku kalau dirinya selama ini tidak mendapatkan informasi apapun tentang teknis tata cara agar bisa ikut memilih. Baik itu dari perangkat desa dan juga petugas penyelenggara pemilu.

Hanya saja katanya, sebelum berangkat ke TPS dia sering mendapat informasi dari sosial media dan tetangganya, kalau di pemilu kali ini membolehkan warga ikut memilih sekalipun tak mengantongi form A5, asal membawa KTP Elektronik.

“Ada panitia mengatakan bawa KTP aja. Jam 12 katanya bisa, tapi saya sudah ke sini tidak dapat memilih,” urai Mulidah, tak kuasa membendung kecewa hingga air matanya tumpah.

Di tengah terik matahari, Mulidah bolak-balik mencoba mencari informasi pada petugas pemilu di lokasi pencoblosan. Namun emosinya tak bisa dikendalikan karena informasi yang didapat malah semakin membingungkannya.

“Sama bapak-bapak di pusat informasi disuruh ke TPS 5, terus sampai ke sana disuruh balik lagi ke pusat informasi. Katanya saya disuruh minta surat pengantar,” ucapnya.

Pemilu kali ini membuat Mulidah kecewa. Begitu juga dengan dua saudaranya yang datang dari Jakarta. Dia yang tak ingin golput tersebut, pada akhirnya harus angkat kaki dari TPS dan sama sekali tak bisa ikut berpartisipasi di pesta demokrasi 5 tahunan itu.

“Ya sudahlah, mending kami pulang aja. Ini bukan kesalahan saya, tapi karena informasinya kurang jelas nggak sampai ke kami,” ujarnya.

Nasib sama juga dirasakan oleh Farida Irayani Nasution, warga Sumatera Utara yang telah tujuh tahun tinggal di Banda Aceh mencari nafkah di sani.

Farida mengeluh tentang sosialisasi yang selama ini berjalan tidak maksimal sehingga beberapa warga dari luar yang telah lama tinggal di Aceh tidak bisa ikut memilih.

“Sosialisasinya masih kurang ke kita. Selama ini saya hanya memperoleh informasi dari media pemberitaan mengenai mekanisme tata cara bagaimana bisa memilih,” katanya.

Farida mengatakan kalau dirinya masuk ke dalam DPT tambahan. Akan tetapi setiba di TPS petugas menolak dirinya untuk bisa memilih. “Saya tahu masuk ke dalam DPT tambahan, makanya saya beranikan diri datang ke TPS. Katanya jam 12 bisa,” ujarnya.

Kekecewaan Farida tak bisa memilih membuatnya sedih. Sebab katanya, selama ini larangan golput terus digaungkan pemerintah, akan tetapi dia merasa jadi korban minimnya informasi sehingga harus rela tak bisa memilih di pemilu 2019 ini.

“Setiap hari selalu dikatakan bahwa kalau kita tidak boleh golput. Bawa KTP aja cukup, intinya tidak dibolehkan golput. Kalau tahu ginikan saya bisa pulang kampung saja,” keluhnya.

Selama di Banda Aceh Farida hanya mengantongi surat izin tinggal sementara. Dia belum berkeinginan menjadi warga tetap lantaran sewaktu-waktu bisa pindah tempat.

“Makanya, nggak saya urus,” terangnya.

Tak hanya Farida dan Munida mengalami nasib serupa. Di TPS Gampong Peunayong, yang rata-rata di sana terdapat banyak pemilih dari etnis Tionghoa itu, puluhan warga juga tak bisa memilih karena tidak mengantongi A5.

Sementara itu, Sekretaris PPS Desa (gampong) Peunayong, Teuku Mirwan Syahputra mengatakan, warga Peunayong yang tak bisa memilih itu masih ber-KTP dari luar dan menetap di Banda Aceh karena bekerja.

“Mereka mengira dengan memiliki e-KTP sudah bisa (memilih), sebenarnya kan tidak. Harus lengkapi dulu persyaratan,” paparnya.

Mirwan menjelaskan, yang dimaksud boleh memilih dengan hanya membawa e-KTP satu jam sebelum TPS ditutup itu, sebenarnya bagi mereka yang berdomisili di Aceh.

“Tetapi dari luar mereka harus menggunakan A5, kalau tidak maka mereka tidak bisa memilih,” paparnya.

Selama tidak sesuai dengan ketentuan, terangnya, petugas pemilu terpaksa menolak. Sekalipun misalnya, sudah lama warga tersebut tinggal di Banda Aceh.

“Sebab pegangan kita tetap pada ketentuan yang berlaku,” tutupnya. (ASM)

Shares: